Wednesday, January 8, 2014

2013 in review

This year, 2013, cannot be said as the summit of my (long) life journey, even though in this year some great precious surprising events happened. It started from a proposal from an I-don't-even-know-before man that now, I know I love him so much *miss you yung*. It was followed by a new mandate of sharing and developing knowledge in UNS. I learn so much, here, how to both teach and learn in once. Not only that, "to be there" teaches me how to be both professional and "servicer". Then, almost a half of year later, I got married and started how to be a lovable-caring wife of the new life in a new house. Here, we started to build and manage of what-so-called marriage.

Now, in the end of the year, I can say that this year is not the ending of the game but rather the beginning of other games. I still have to manage other plans and strategies both to enjoy and be the winner of this "life" games.


Embun di Padang Sahara

Cerita ini sengaja saya tulis mengingat betapa akhir-akhir ini kita susah sekali menemukan ketulusan dan kejujuran menjalankan amanah di berbagai ranah kehidupan sosial. Ternyata itu hanya sebagian kecil, masih banyak kebaikan di sekeliling kita jika kita mau merasakannya.


Sepenggal cerita sore ini:

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Cukup larut bagi kami yang sedari pagi berkutat di balik meja dengan setumpuk pekerjaan mahasiswa yang harus diperiksa. Bahkan sebagian besar ruangan di kantor sudah gelap. Di halaman parkir, hanya tinggal hitungan jari saja kendaraan yang masih ada. Perut sudah keroncongan karena tak sempat meluangkan waktu mengisinya sejak pagi. Berharap segera sampai rumah untuk beristirahat, saya pun mulai berkemas kembali kerumah sore tadi. 

Namun, (karena kebiasaan panik dan ceroboh) saya tak menemukan kunci motor saya. Berkali-kali saya ulangi mencarinya, hasilnya masih nihil.  Atas saran beberapa teman, akhirnya saya mencoba menanyakan pada bapak Satpam. Setelah bertanya, Pak Satpam meminta saya untuk menanyakan ke tukang penjaga motor dan sepeda.

Saya pun mencoba mendatangi pos penjaga parkir di ujung Fakultas. Kosong. Saya kembali lagi ke ruangan satpam, lalu saya diminta kembali lagi ke pos penjaga. Tak patah arang, saya kembali kesana untuk yang kedua kalinya. 

Seorang lelaki setengah baya dengan muka basah oleh air wudhu (perkiraan saya) menunggu di luar pos. Saya bertanya perihal kunci yang tertinggal di motor kepadanya. Dengan sedikit basa basi akhirnya beliau menunjukkan kunci motor saya yang teronggok tak berdaya di sudut pos. Alhamdulillah. Tak berfikir panjang, (masih dengan budaya lama) saya segera mengeluarkan dompet dan mengambil selembar uang kertas sebagai “tanda” terima kasih (seperti yang banyak sekali orang lakukan belakangan ini). Namun, apa tanggapan beliau?. Bapak penjaga motor dan sepeda berkata, 

“Mboten usah Mbak, Saya bukan tukang jualan kunci. Ini sudah menjadi tugas saya, tanggung jawab saya. Pun damel tumbas bensin njenengan mawon.” 

Terkesiap seketika saya mendengarnya. Rasa lapar, galau, dan kemrungsung melebur menjadi haru, bangga, dan bahagia (versi lebay). Bahkan sampai uang yang saya berikan saya paksakan ke tangannya, beliau tetap menolaknya. 

Subhanalloh, ternyata masih ada setetes embun di tengah Sahara. Masih banyak sekali orang-orang di sekitar kita yang memiliki ketulusan dan kejujuran yang utuh dalam menjalankan amanah. Semoga, kita bisa banyak belajar dari sesuatu yang sedikit ini. Mari mulai dari diri sendiri untuk menjadi lebih baik lagi, lagi dan lagi.