Cerita ini sengaja saya tulis mengingat betapa akhir-akhir ini kita
susah sekali menemukan ketulusan dan kejujuran menjalankan amanah di
berbagai ranah kehidupan sosial. Ternyata itu hanya sebagian kecil,
masih banyak kebaikan di sekeliling kita jika kita mau merasakannya.
Sepenggal cerita sore ini:
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Cukup larut bagi
kami yang sedari pagi berkutat di balik meja dengan setumpuk pekerjaan
mahasiswa yang harus diperiksa. Bahkan sebagian
besar ruangan di kantor sudah gelap. Di halaman parkir, hanya tinggal hitungan
jari saja kendaraan yang masih ada. Perut sudah keroncongan karena tak sempat
meluangkan waktu mengisinya sejak pagi. Berharap segera sampai rumah untuk
beristirahat, saya pun mulai berkemas kembali kerumah sore tadi.
Namun, (karena
kebiasaan panik dan ceroboh) saya tak menemukan kunci motor saya. Berkali-kali
saya ulangi mencarinya, hasilnya masih nihil. Atas saran beberapa teman, akhirnya saya
mencoba menanyakan pada bapak Satpam. Setelah bertanya, Pak Satpam meminta saya
untuk menanyakan ke tukang penjaga motor dan sepeda.
Saya pun mencoba mendatangi pos penjaga parkir di ujung
Fakultas. Kosong. Saya kembali lagi ke ruangan satpam, lalu saya diminta
kembali lagi ke pos penjaga. Tak patah arang, saya kembali kesana untuk yang
kedua kalinya.
Seorang lelaki setengah baya dengan muka basah oleh air
wudhu (perkiraan saya) menunggu di luar pos. Saya bertanya perihal kunci yang
tertinggal di motor kepadanya. Dengan sedikit basa basi akhirnya beliau
menunjukkan kunci motor saya yang teronggok tak berdaya di sudut pos. Alhamdulillah.
Tak berfikir panjang, (masih dengan budaya lama) saya segera mengeluarkan dompet
dan mengambil selembar uang kertas sebagai “tanda” terima kasih (seperti yang
banyak sekali orang lakukan belakangan ini). Namun, apa tanggapan beliau?. Bapak
penjaga motor dan sepeda berkata,
“Mboten usah Mbak, Saya bukan tukang jualan kunci. Ini sudah
menjadi tugas saya, tanggung jawab saya. Pun damel tumbas bensin njenengan
mawon.”
Terkesiap seketika saya mendengarnya. Rasa lapar, galau, dan
kemrungsung melebur menjadi haru, bangga, dan bahagia (versi lebay). Bahkan
sampai uang yang saya berikan saya paksakan ke tangannya, beliau tetap
menolaknya.
Subhanalloh, ternyata masih ada setetes embun di tengah Sahara.
Masih banyak sekali orang-orang di sekitar kita yang memiliki ketulusan dan
kejujuran yang utuh dalam menjalankan amanah. Semoga, kita bisa banyak belajar
dari sesuatu yang sedikit ini. Mari mulai dari diri sendiri untuk menjadi lebih
baik lagi, lagi dan lagi.