Tuesday, December 25, 2012

Pohon Beringin Kembar Yogyakarta

Tempo hari, saya berkesempatan mengunjungi kota Yogyakarta selama beberapa hari. Karena durasi yang cukup lama, banyak tempat wisata yang dapat saya kunjungi. Salah satu diantaranya adalah Alun-alun Selatan kota Yogyakarta.

Berbicara mengenai alun-alun Selatan Kota Yogyakarta, rasanya tidak lengkap tanpa membicarakan mitos mengenai Pohon Beringin Kembar yang ada di dalamnya. Sebenarnya kalau dikatakan kembar sih, nggak juga ya sebab kedua pohon beringin tersebut berbeda ukuran satu sama lain. Kalau kami (saya dan teman-teman cc NadaLicha, +el malixi misbah ) lebih senang menyebut, beringin ibu dan anak karena yang satu besar dan yang satunya lagi lebih kecil, he he. Mitos yang berkembang di masayarakat adalah barang siapa dapat melewati kedua Pohon Beringin Kembar tersebut tepat di tengah-tengahnya dengan mata tertutup maka salah satu keinginannya dapat terwujud.



Salah satu dari teman saya yang sangat meyakini kebenaran mitos tersebut adalah Licha  Itulah mengapa, dia sangat terobsesi untuk bisa melewatinya. Jadilah akhirnya kami mencoba satu persatu tantangan tersebut. Mencoba untuk bersikap gentle, saya melakukan tantangan itu pertama kali. Karena keterbatasan penutup mata, saya gunakan sisa kain jilbab saya. 

Aba-aba dimulai dan saya mulai melangkahkan kaki lurus maju kedepan sesuai dengan arahan mata hati saya. Namun, baru beberapa detik saya berjalan, saya mulai mendengar suara cekikikan Nada dan Licha. Firasat saya mulai nggak enak nih. Seperti kebiasaan orang Indonesia pada umumnya, mereka berdua (meskipun berstatus sebagai sahabat saya) sangat bahagia melihat orang lain menderita (baca: salah arah) dan bikin malu orang lain. Tanpa perlu menunggu waktu lama, langsung saja saya buka penutup mata dan walhasil saya melenceng jauh dari arah kedua pohon beringin tersebut. Alih-alih jalan lurus tepat di tengah-tengah, saya justru berbelok ke arah kiri. 

Kemudian giliran Nada mencoba tantangan tersebut. Karena tidak dimulai dari tiang bendera (tempat yang umumnya digunakan sebagai start tantangan Pohon Beringin Kembar), maka dengan mulus dia dapat melewati kedua Pohon Beringin tersebut. Hal inilah yang membuat nyali Licha  terbakar untuk menyainginya. Kontan saja, setelah Nada selesai melewati tantangan Licha  mencobanya juga. Namun, alih-alih kesuksesan yang didapat, dia justru melenceng jauh ke arah kanan. Bahkan setelah mecobanya hingga tiga kali tetap saja Licha berjalan melenceng ke kanan. Hal ini menjadi semacam pola yang mengherankan, sebab rekan saya yang lainnya, +el malixi misbah juga mencoba beberapa kali dan dia juga memiliki pola rute yang sama yaitu belok ke kanan kemudian memutar balik ke tempat asal (tempat start). Ketika saya mencoba melakukannya lagi, tetap saja arah saya berbelok ke kiri tepat saat langkah kaki saya sudah di tengah-tengah arah kedua Pohon Beringin.
Hanya Nada yang dapat melewatinya dengan mulus. Mitos yang berkembang, hanya mereka yang berhati suci nan bersih yang akan berhasil melewati kedua pohon tersebut dengan mata tertutup. 

Fenomena ini membuat kami bertanya-tanya mengapa arah langkah kaki kami ketika mata dalam keadaan tertutup membentuk polanya masing-masing. Saya selalu berbelok ke arah kiri, Licha melangkahkan kakinya kearah kanan, dan +el malixi misbah selalu berbelok ke kanan lalu memutar ke tempat asal. Hingga postingan ini ditulis, kami masih belum mengetahui rahasia dibalik itu semua. But, all in all, we just did it for fun. So, kami ga terlalu ambil pusing.

FYI, Alun-alun selatan atau lebih kerennya disebut Alkid (Alun-alun Kidul) lebih eksotis jika dikunjungi pada malam hari. Karena banyak sekali hiburan yang ditawarkan seperti becak hias (becak yang dapat ditumpangi 4-6 orang yang dihiasi lampu berwarna-warni), sepeda gandeng, kemudian di tengah lapangan banyak cafe yang biasa (bisa) digunakan untuk candle-light dinner (meskipun candle-nya berupa lampu emergency sih ya) dan masih banyak lagi hiburan-hiburan rakyat yang bersahaja yang dapat Anda lakukan bersama keluarga, teman, maupun pacar. Semuanya disajikan dengan sederhana, akrab, dan begitu kental dengan nuansa kekeluargaan.





Jika para pembaca berkesempatan mengunjungi kota Yogyakarta, saya sangat menyarankan Anda untuk mengunjungi Alun-alun Selatan dan mencoba tantangan melewati Pohon Beringin Kembar. Jika Anda termasuk orang yang berhati suci dan bersih, maka kemungkinan besar Anda dapat melewatinya. Namun, jika tidak lihatlah seperti apa pola langkah kaki Anda. Ga usah begitu percaya yah, hanya sekedar mitos saja sih. Just make it fun!

Salam

Tuesday, December 4, 2012

Who the Hell was Calling Me?

Pernah merasa dirugikan gara-gara panggilan telpon yang tidak jelas? Jika ya, berarti Anda mengalami nasib serupa dengan yang saya alami hari ini.






Kejadian ini bermula disaat saya sedang dalam keadaan yang sangat menunggu-nunggu telepon panggilan kerja. Beberapa hari sebelumnya saya telah mengirimkan berkas lamaran pekerjaan ke beberapa universitas swasta di kota saya sebagai tenaga pendidik. Nah saat itulah saya sedang menantikan berkas lamaran saya diproses.

Pada saat yang tepat, di pagi hari yang cerah tak ada mendung tak ada angin sebuah panggilan telepon masuk ke nomor telepon rumah. Tidak ada sedikitpun perasaan aneh karena nomor telepon yang biasa saya cantumkan dalam berkas lamaran saya adalah nomor selular saya. Seperti biasa saya ogah-ogahan mengangkat dan tugas mulia itu diemban oleh ibu. Ibu menjawab panggilan telepon tersebut. Dan, taraaa!!! telepon itu ditujukan untuk saya sodara. Lebih mengejutkan lagi, telepon berasal dari bagian kepegawaian salah satu universitas negeri di kota Semarang yang meminta saya untuk datang melakukan interview lamaran kerja sebagai dosen. Serasa ketiban durian runtuh saya langsung mencatat hari dan tanggalnya serta lokasi interview. Saya girang tak kepalang sebab yang saya herankan saya tidak pernah mengirimkan berkas lamaran pekerjaan ke universitas tersebut, namun kenapa justru saya yang dilamar. Sudahlah, saya fikir positif saja karena saya fikir saya juga alumni universitas tersebut dan bisa saja nomor telepon diperoleh dari buku alumni. Selain itu, pejabat yang akan mewawancarai saya satu almamater dengan saya. Pas sudah asumsi saya. 

Sambil menunggu hari pelaksanaan wawancara persiapan pun saya lakukan, diantaranya membeli sepatu baru agar kesan rapi muncul saat wawancara. Malam hari sebelum wawancara pun grogi sudah melanda (oke saya lebay).

Tepat pada hari H, pagi hari yang cerah secerah hati menyambut asa dan cita, saya berangkat lebih pagi agar tiba ditempat tepat waktu. Tak lebih dari 1 jam perjalanan sampailah saya di rektorat kampus. Melangkah dengan tenang dan mantap, saya bertanya ke petugas keamanan ruangan PR I (pejabat yang akan mewawancarai saya). Setelah ditunjukkan ruangannya, saya agak bingung sebab tidak seorang pun, applicant lain seperti yang saya bayangkan sebagaimana tes perekrutan pekerjaan ada di sana. Oke no problem, mungkin memang panggilan ini panggilan khusus jadi hanya orang tertentu yang mendapatkan kesempatan ini (batin saya). Namun yang lebih aneh lagi, setelah menunggu beberapa menit bapak PR I itupun keluar dari ruangannya tanpa sedikitpun melihat kearah saya dan menyapa saya. Seolah-olah tidak ada yang aneh hanya sekedar perempuan berjilbab dengan muka miris mengharap belas kasihan teronggok di pojokan kursi. 
Merasa ada yang janggal, saya berinisiatif untuk menanyakan langsung ke bagian kepegawaian yang tempo hari melakukan panggilan. Tiba di kantor kepegawaian, dugaan saya semakin kuat pasalnya tidak ada satupun dari mereka yang melakukan panggilan untuk wawancara kerja dengan PR I. Saya disarankan untuk bertanya langsung di ruangan PR I untuk lebih detilnya. Perasaan aneh sudah berkecamuk dalam hati saya. Yang memperjelas adalah mengapa bapak PR I yang notabene mengatur masalah akademik berurusan dengan hal remeh temeh macam perekrutan dosen seperti ini. Semakin jelas kasus ini ketika dari mulut manis dan cantik sang sekretaris itu kalimat ini muncul, 

“Maaf mbak, bapak tidak pernah memberitahu saya kalau hendak melakukan wawancara dengan siapapun. Apalagi mbak tidak mengirimkan berkas lamaran, kira-kira dari siapa bapak bisa mendapatkan kontak ya?”

Saya jawab sekenanya dan selogis mungkin,
“Mungkin saja dari buku alumni, dan kebetulan saya dengan beliau satu almamater dulu di program pasca sarjananya”.

“Baik mbak, silahkan menunggu saja nanti saya konfirmasikan ke bapak”

What the hell was going on????!!!

Dengan perasaan galau tingkat badai dan limbung akhirnya saya putuskan untuk segera meninggalkan ruangan tersebut dan langsung cabut ke rumah. Saya merasa sangat bodoh kenapa saya tidak tanya siapa identitas penelepon dan nomor mana yang bisa dihubungi.

And the result was I was being deceived by the caller!

SH*T!!!

Saran saya, jika Anda mendapat panggilan pekerjaan macam saya, tanyakan dengan jelas siapa identitas penelepon dan nomor mana yang dapat dihubungi jika nanti ada masalah di lapangan. 

Sekian, salam galau dari saya...


Friday, November 30, 2012

Sebuah Cerita tentang Manusia dan Alam

Berbicara mengenai hubungan manusia dan alam ibarat memperbincangkan keintiman hubungan sepasang suami dan istri. Bagaimana tidak, begitu bergantungnya hidup manusia pada alam, hingga manusia seakan tak bisa lepas untuk selalu menurut-sertakan alam dalam segala urusannya. Hal ini tidak dapat dinafikan telah terjadi sejak zaman azali hinggan zaman modern seperti saat ini.

Saya tidak hendak berbicara dalam hal yang bukan ranah saya. Sudah banyak pemerhati lingkungan hidup, aktifis pecinta alam, maupun para ahli yang berbicara secara ilmiah di ruang-ruang dan meja-meja gagah yang hanya bisa di tempati orang-orang dengan intelektual tinggi membahas tentang keberlangsungan lingkungan hidup. Saya hanya ingin meyuarakan  isi hati saya, apa yang ada di benak saya, sebagai manusia biasa yang hidupnya sangat bergantung pada keharmonisan alam dan lingkungan.

Makin banyaknya ahli dan orang-orang yang menyuarakan pentingnya menjaga lingkungan dan alam sekitar, diiringi pula dengan makin banyaknya pendatang baru yang melakukan tindakan yang sangat berlawananan. Penebangan liar dilakukan dengan dalih untuk memperluas area perumahan. Begitu juga dengan pengerukan gunung-gunung yang sedikit banyak digunakan untuk lahan industri. Kemudian, hasil dari pengerukan tersebut digunakan untuk menguruk air laut yang berujung pada kepentingan pribadi alih alih menjaga keberlangsungan lingkunan hidup untuk orang banyak.


Sebenarnya tindakan ini dapat diminimalisir seandainya birokrat dan mereka yang berkuasa mau sedikit saja idealis dengan tidak memberikan ijin terhadap segala bentuk perusakan alam untuk kepentingan pribadi manusia. Sungguh ironi, jika elemen dan unsur masyarakat bawah saja begitu gencar menyuarakan tentang keberlangsungan lingkungan hidup, namun justru elemen kelas atas dan elit petinggi negaralah yang justru melakukan pengkerdilan terhadap gagasan itu sendiri.



Karena pada hakikatnya, keberlangsungan kehidupan lingkungan hidup juga memiliki peran penting bagi kehidupan manusia itu sendiri. Undang-undang dan peraturan tentang pembangunan dan pendirian bangunan seharusnya diindahkan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Namun sekali lagi, kepentingan manusia menjadi "Tuhan" yang menguasai segala tingkah laku manusia.


Tidak ada yang dapat dilakukan, selain memulai dari diri sendiri. Tidak ada yang sia-sia dengan melakukan perbuatan mulia. Karena siapa yang menanam dia pulalah yang akan menuai. Memang sangat dibutuhkan kekompakan dan kerja sama dari unsur masyarakat untuk menjaga lingkungan demi terwujudnya bumi yang hijau dan asri. Mulai dengan diri sendiri, keluarga, tetangga, dan orang lain. Jangan pernah malas mengajak mereka untuk selalu hidup bersih, menjaga keteraturan alam demi kehidupan anak cucu kita kelak.



Go Green!

Wednesday, November 28, 2012

Antara Feminisme dan Fitrah Seorang Wanita

Andai boleh ku meminta,
Ijinkan sekali saja
Aku bermimpi

Andai boleh ku memohon
Ijinkan sekali saja
Aku berlari

Andai boleh ku merengek
Ijinkan sekali saja
Aku melihat pagi

Tuhan, katakan pada mereka
"Buka pintunya"

Tuhan, katakan pada mereka
"Buka tirainya"

Aku ingin berlari dan melihat pagi

Thursday, November 22, 2012

Kajian Sosiolinguistik - Pemertahanan Bahasa Daerah di Era Modern

Assalamualaikum...
Salam sejahtera untuk kita semua
Karena tingkat kemalasan yang cukup tinggi untuk menghasilkan karya dan tulisan baru, maka pada kesempatan kali ini saya (hanya) akan me-repost tulisan yang sudah saya tulis beberapa waktu lalu ketika masih eksis sebagai mahasiswa dulu. 

Tulisan yang akan saya bahas ini mengenai  bidang keilmuan yang saya tekuni selama ini. Ilmu linguistik. Sesuai judul-nya maka saya akan membahas bagaimana menyeimbangkan penggunaan bahasa daerah dengan Bahasa Indonesia. Hal ini bertujuan untuk melestarikan Bahasa daerah agar terhindar dari kepunahan dan memaksimalkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional.


Mengapa Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional justru menurunkan peran atau fungsi bahasa daerah sebagai bahasa etnik? Apa yang harus dilakukan oleh pengguna bahasa agar bahasa daerah sebagai bahasa etnik di setiap daerah tidak tergerus oleh Bahasa Indonesia yang semakin berkembang sebagai bahasa Nasional saat ini?
Pertanyaan diatas muncul dalam benak saya mengingat eksistensi bahasa daerah, dalam hal ini Bahasa Jawa, di daerah tempat tinggal saya  mengalami degradasi atau penurunan fungsi. Dewasa ini Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional justru menurunkan pamor atau peran bahasa daerah sebagai bahasa etnik. Banyak anggota masyarakat di daerah saya mulai dari ibu-ibu muda, remaja, hingga anak-anak menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Sedangkan kelompok orang tua baik laki-laki maupun perempuan masih tetap mempertahankan penggunaan Bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian dan sarana untuk berkomunikasi antara sesama.
Fenomena tersebut memiliki segi positif maupun negatif. Di satu sisi, Bahasa Indonesia berkembang dengan baik dan digunakan oleh setiap elemen masyarakat baik tua dan muda di desa maupun di kota. Ini artinya, Bahasa Indonesia semakin menunjukkan eksistensinya sebagai simbol nasionalisme Bangsa Indonesia. Hal ini menjadi tolak ukur bahwa nasionalisme bangsa Indonesia tidak dapat diganggu gugat dan dicerai berai dari segi kebahasaan. Meskipun, jika dilihat dari luar bangsa Indonesia merupakan bangsa multietnik karena terdiri dari berbagai macam suku.
Namun di sisi lain, kerberadaan bahasa daerah mulai bergeser. Masyarakat cenderung memakai Bahasa Indonesia disetiap aspek kehidupan. Jika beberapa dekade yang lalu Bahasa Indonesia hanya digunakan pada situasi formal seperti pada bidang pendidikan, pemerintahan, maupun kesehatan saat ini sebagian besar komponen masyarakat telah menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Mereka beranggapan penggunaan Bahasa Indonesia mencerminkan keadaan sosial penggunanya yang lebih berpendidikan dan secara ekonomi lebih mapan. Lebih lanjut,  hegemoni yang berkembang di masyarakat menggambarkan jika penggunaan bahasa  daerah dianggap mencerminkan penggunanya yang kurang berpendidikan, dan berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Jika hal ini terus berlanjut dan bertahan dari masa ke masa, maka semakin lama masyarakat mulai meninggalkan bahasa daerah mereka untuk berkomunikasi. Masyarakat lebih memilih menggunakan dan mengajarkan Bahasa Indonesia kepada anak cucu mereka karena faktor sosial dan budaya. Hal ini akan menimbulkan permasalahan dimana bahasa etnik atau bahasa daerah yang menjadi simbol kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia lama kelamaan akan punah seiring dengan berkurangnya pengguna bahasa daerah tersebut.
Dalam tulisan kali ini, saya akan mencoba memberikan solusi dengan dukungan dari berbagai sumber terkait dengan sikap kebahasaan oleh pengguna bahasa agar bahasa etnik yang menjadi ciri khas kebudayaan mereka dapat dipertahankan dan dilestarikan. Tindakan ini juga harus dibarengi dengan tidak meninggalkan dan mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Sehingga perkembangan Bahasa Indonesia akan terus berjalan seiring dengan lestarinya bahasa daerah sebagai ciri khas kebudayaan Indonesia.
Sumarsono dalam bukunya Sosiolinguistik (2002, 76) menyatakan bahwa masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat aneka bahasa ini terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyarakat, sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society).
Kebanyakan bangsa di dunia memiliki lebih dari satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu dalam wilayah yang dihuni bahasa itu. Termasuk di dalam negara-negara tersebut adalah Indonesia. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 500 bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu di setiap dearah yang memiliki penggunanya masing-masing.
Keanekabahasaan dalam suatu negara selalu menimbulkan masalah atau paling tidak mengandung potensi akan timbulnya masalah (Sumarsono, 2002:78). Meskipun Indonesia hanya memiliki satu bahasa sebagai bahasa Nasional, namun bahasa daerah di Indonesia sangat beragam. Masing-masing bahasa daerah tersebut menjadi bahasa ibu bagi masing-masing penduduk di daerah tertentu. Dengan kata lain, masing-masing bahasa memiliki masing-masing pengguna bahasa yang berbeda satu sama lain. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Sumarsono (2002, 164) bahwa sebuah negara kadang-kadang hanya mengenal satu dua bahasa, tetapi banyak negara yang secara linguistik terpilah pilah, sehingga tidak mustahil setiap anak menjadi dwibahasawan (blingual) atau anekabahasawan (multilingual).
Penguasaan dua atau lebih bahasa dwibahasa atau multibahasa merupakan suatu keterampilan khusus. Dwibahasa atau multibahasa merupakan istilah-istilah nisbi selama para individu memang sangat beraneka ragam dan berbeda dalam hal tipe dan taraf kemahiran berbahasa (Encyclopedia Britannica, 1965 dalam Tarigan, 1984:4). Bilingualisme adalah pengawasan yang mirip asli terhadap dua bahasa. Tentu saja seseorang tidak akan dapat membatasi taraf kesempurnaan yang merupakan wadah seorang pembicara asing yang baik menjadi seorang dwibahasawan: pembedaan itu sangat relatif (Bloomfield, 1933 dalam Tarigan, 1984:4).
Kedwibahasaan atau bilingualisme secara praktis ada pada setiap negara di dunia, pada semua lapisan masyarakat dan pada semua kelompok usia (Grosjen, 1982 dan Mc Laughin, 1984:1 dalam Tarigan, 1984:13). Secara Sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain (McKey, 1962 dan Fishman, 1975 dalam Chaer, 2004:84) Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua  bahasa itu yakni bahasa ibunya atau bahasa daerah dan bahasa keduanya, dalam hal ini bahasa Indonesia. Sehingga, perlu proses pembelajaran untuk menguasai dengan baik penggunaan bahasa kedua dalam hal ini Bahasa Indonesia disamping bahasa daerah sebagai bahasa ibu mereka. Fenomena kedwibahasaan merupakan suatu yang sepenuhnya bersifat nisbi atau relatif. Oleh karena itu, kita akan mempertimbangkan atau menganggap kedwibahasawan sebagai penggunaan secara berselang-seling dua bahasa atau lebih oleh pribadi yang sama (Mackey, 1962).
 Masalah yang timbul adalah setiap anak-anak diwajibkan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di bidang pendidikan, sedangkan di lain pihak mereka kembali menggunakan bahasa daerah mereka ketika tidak berada di bangku sekolah. Inilah yang terjadi pada beberapa dekade yang lalu, dimana Bahasa Indonesia belum berkembang dengan baik sebagai bahasa Nasional. Sebaliknya, apa yang terjadi saat ini adalah Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar yang digunakan baik di bidang formal maupun informal, dalam artian, bahasa ini juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Saya beranggapan bahwa penting sekali menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dalam kehidupan sehari-hari. Namun, melestarikan penggunaan berbahasa daerah juga tidak boleh ditinggalkan bagi setiap individu dimana bahasa etnik itu digunakan. Ditambah dengan kebijakan baru pemerintah untuk mempelajari bahasa asing, sebagai contoh Bahasa Inggris, dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah. Hal ini tentu menjadi beban yang berat bagi setiap anak, dimana mereka harus menguasai paling tidak tiga bahasa diusia mereka yang sudah melewati critical period, masa dimana seseorang dapat belajar bahasa dengan baik. Sehingga perlu pembatasan dan penyelarasan agar setiap anak dapat berbahasa dengan baik sesuai dengan konteks bahasa apa yang harus digunakan. Kapan dan dimana seharusnya anak menggunakan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Berdasarkan pentingnya bagi nasionalisme, maka perkembangan rasa nasion tersa lebih sulit bagi negara anekabahasa dari pada negara ekabahasa (Sumarsono, 2002:174). Negara anekabahasa ini dapat mendekati masalah ini dengan dua cara: 1) mereka dapat berusaha mengembangkan bahasa nasional, atau 2) mereka dapat mencoba mengembangkan nasionalisme tidak berdasarkan bahasa. Sebagian besar negara mengambil cara pertama termasuk Indonesia. Untuk itulah, Pemerintah Indonesia mulai menggalakkan pentingnya berbahasa Indonesia bagi setiap warganya di seluruh penjuru negeri. Namun, masalah yang muncul adalah bagaimana warga yang bukan penutur asli bahasa X harus menyesuaikan dengan menggunakan bahasa tersebut dengan baik. Selain itu, bagaimana cara mereka menggunakan bahasa nasional yang baik namun tetap mempertahankan eksistensi bahasa ibu mereka. Hal ini bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini menyangkut pada pergeseran bahasa, pemertahanan bahasa, dan sikap berbahasa.
Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat dari suatu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain (Chaer, 2004:142). Kalau seorang atau sekelompok orang penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan mereka, maka akan terjadilah pergeseran bahasa ini (Chaer, 2004:142).
Pergeseran bahasa yang dimaksud disini adalah apabila ada sekelompok orang atau individu berpindah tempat dari tempat asalnya ke tempat yang lain,  dimana tempat yang baru ini memiliki bahasa yang berbedea dengan bahasa ibu mereka, maka lama kelamaan orang yang tinggal ditempat baru tersebut akan menggunakan bahasa dimana mereka tinggal. Jika keadaan ini terjadi di Indonesia, maka dapat dengan mudah digunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Namun, jika dalam keseharian anggota masyarakat di lingkungan yang baru ini banyak menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi, mau tidak mau pendatang baru ini akan menggunakan sedikit demi sedikit bahasa ditempat asal. Dan lama kelamaan apabila bahasa ibu mereka sudah tidak lagi digunakan, maka terjadilah pergeseran bahasa dari bahasa ibu mereka ke bahasa dimana mereka tinggal.
Hal inilah yang sedikit banyak mempengaruhi perubahan penggunaan  bahasa daerah akhir-akhir ini. Saya mengambil contoh fenomena perubahan bahasa ini di Kota Semarang. Karena banyaknya pendatang baru yang tinggal dan bersinggungan dengan penduduk asli, maka dipilihlah Bahasa Indonesia untuk menjembatani perbedaan bahasa daerah antara pendatang baru dengan penduduk asli. Jika kondisi seperti ini berjalan terus menerus dan berkesinambungan, maka lama kelamaan sebagian besar penduduk asli akan menggunakan Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan pendatang baru yang mulai banyak tinggal di Semarang. Penduduk asli pun akan lebih memilih mengajarkan dan menggunakan bahasa daerah kepada anak-anak mereka. Hal ini untuk memudahkan pengajaran dan penggunaan bahasa. Akibatnya, Bahasa daerah itu sendiri mulai jarang digunakan dan diajarkan kepada generasi selanjutnya.
Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran/ transmigran untuk mendatanginya (Chaer, 2004:144). Fishman (1972) telah menunjukkan terjadinya pergeseran bahasa para imigran di Amerika. Keturunan ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah tidak mengenal lagi bahasa ibunya (B-ib). 
Danie (1987) dan Ayotrahaedi (1990) melaporkan ada pergeseran bahasa yang menyebabkan kepunahan bahasa di tempat bahasa itu digunakan karena tidak ada lagi penuturnya atau penuturnya secara drastis sudah sangat berkurang. Hal inilah yang bisa terjadi pada bahasa daerah dimana penggunanya sudah mulai beralih menggunakan Bahasa Indonesia.
Proses pergeseran bahasa yang dijabarkan oleh Fishman diatas, secara tidak langsung turut mengakibatkan kepunahan bahasa disuatu tempat. Adanya pendatang baru yang lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia, menyebabkan penduduk asli juga menggunakan Bahasa Indonesia. Lama-kelamaan seiring bertambahnya pendatang dan faktor sosial bahasa Indonesia ini lebih diminati karena tidak mempersulit untuk diajarkan kepada anak. Dalam penelitiannya di wilayah Minahasa Timur, Sulawesi Utara Danie (1987) menemukan adanya bahasa daerah yang pemakainya dan penuturnya sudah sangat menurun. Penyebab penurunan pengguna bahasa ini antara lain adalah a) bahasa Melayu Manado merupakan bahasa yang berprestise tinggi di daerah itu, b) bahasa Melayu Manado sudah lama berfungsi sebagai lingua franca di daerah itu, c) kebutuhan akan bahasa pengantar, Bahasa Indonesia, bagi anak-anak untuk memasuki sekolah, dan d) berkembangnya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa nasional di daerah itu. Dalam kasus ini, bahasa Melayu Manado memiliki jenis dan bentuk bahasa yang tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia, sehingga semua keluarga mendidik anak-anaknya berbahasa Indonesia sejak kecil, walaupun yang diajarkan bahasa Melayu Manado.
Berbeda dengan penelitian Danie dimana bahasa Melayu Manado memiliki struktur yang tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia, bahasa Jawa juga dapat mengalami kepunahan karena berkurangnya pengguna bahasa Jawa. Penyebabnya sama seperti dengan penyebab kepunahan bahasa Melayu Manado pada poin (c) dan (d) di atas. Kebutuhan berbahasa Indonesia sebagai pengantar dalam bidang pendidikan, mengharuskan anak-anak untuk dapat menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Terlebih kemajuan teknologi informasi baik elektronik maupun media cetak yang semakin pesat saat ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya. Sehingga, kebutuhan untuk berbahasa Indonesia sangat penting dan mendesak. Penggunaan bahasa daerah, kemudian, dianggap kurang penting karena seluruh sumber informasi dan ilmu pengetahuan disajikan dengan pengantar Bahasa Indonesia. Meskipun, ada juga pengetahuan yang dapat diperoleh dengan pengantar bahasa daerah.
Peristiwa pergeseran bahasa ini dapat terjadi dimana-mana di muka bumi ini mengingat dalam dunia modern sekarang arus mobilitas penduduk sangat tinggi. Wilayah, daerah atau negara, yang memberi harapan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik diserbu dari mana-mana, sedangkan yang prosesnya suram segera ditinggalkan (Chaer, 2004:146). Sama halnya dengan daerah seperti apa yang memungkinkan terjadinya pergeseran bahasa, bahasa yang memberi prospek untuk kehidupan yang lebih baik akan terus digunakan dan dikembangkan namun, bahasa yang tidak memberi jaminan kehidupan yang lebih baik akan ditinggalkan dan tidak digunakan. Hal ini dapat dicontohkan dengan Bahasa Inggris dan bahasa daerah. Pembelajaran Bahasa Inggris lebih menguntungkan dari pada Bahasa daerah, karena dengan bahasa asing kesempatan untuk menguasai dunia global lebih baik dari hanya sekedar belajar bahasa daerah. Penggunaan bahasa ibu atau bahasa pertama oleh sejumlah penutur dari suatu masyarakat yang bilingual atau multilingual cenderung menurun akibat adanya bahasa kedua yang mempunyai fungsi yang lebih superior (Chaer, 2004:146).
Namun, kedwibahasaan masyarakat bukanlah satu-satunya penyebab pergeseran bahasa. Hampir semua kasus pergeseran bahasa terjadi melalui alih generasi dan menyangkut lebih dari satu generasi. Jarang terjadi sejumlah individu dalam suatu masyarakat menanggalkan dan mengganti bahasa dengan bahasa lain dalam kurun hidupnya (Sumarsono, 2002:235). Ini artinya, setiap individu tidak mungkin mengalami pergeseran bahasa dalam hidupnya. Pergeseran bahasa terjadi dalam konteks yang lebih luas yaitu pergeseran oleh alih generasi. Jadi pergeseran bahasa tidak dapat dinilai dari satu orang individu atau kelompok melainkan dari generasi ke generasi. Sehingga, dalam kurun waktu yang lama pegseran bahasa dapat dilihat, hingga akhirnya bisa saja terjadi kepunahan bahasa.    
Pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, pergeseran bahasa mengacu kepada bahasa yang tergeser oleh bahasa yang lain. Di lain sisi, pemertahanan bahasa merujuk pada suatu bahasa yang tidak tergeser oleh bahasa yang lain (Sumarsono, 2002:231).  Kedua kondisi itu merupakan akibat dari pilihan bahasa dalam jangka panjang (paling tidak tiga generasi) dan bersifat kolektif (dilakukan oleh sebagian warga) (Sumarsono, 2002:231). Dalam pemertahanan bahasa, sekelompok pengguna bahasa memilih untuk tetap melanjutkan menggunakan bahasa ibunya meskipun suadah ada bahasa kedua yang masuk kedalam komunitas tersebut.
Adakalanya, pengunaan bahasa ibu atau bahasa pertama yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua yang lebih dominan (Chaer, 2004:147). Sumarsono (1990) melaporkan tentang pemertahanan bahasa melayu Loloan di desa Loloan termasuk dalam wilayah kota Nagara Bali. Mereka berhasil mempertahankan penggunaan bahasa Melayu Loloan yang berasal dari nenek koyang mereka yang berasal dari Bugis dan Pontianak ditengah-tengah masyarakat Bali yang menggunakan Bahasa Bali sebagi bahasa ibu. Hal ini dapat bertahan karena beberapa faktor. Faktor tersebut ialah 1) wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis agak terpisah  dari wilayah pemukiman masyarakat Bali, 2) adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan, 3) anggota masyarakat Loloan mempunyai sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, dan Bahasa Bali, 4) adanya Loyalitas terhadap bahasa Melayu Loloan sebagai lambang identitas diri masyarkat Loloan, 5) adanya kesinambungan pengalihan bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya (dalam Chaer, 2004:147). Selain bahasa Bali, bahasa yang lebih tinggi dari bahasa Melayu Loloan adalah Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Masyarakat Loloan pun tidak berkeberatan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan keagamaan, karena tidak ada konotasi keagamaan dalam Bahasa Indonesia. Banyak ranah sosial yang tadinya menggunakan bahasa Melayu dan Bahasa Bali berubah menggunakan Bahasa Indonesia.
Warga Melayu Loloan akan menggunakan bahasa Indonesia jika tetangganya bukan merupakan kelompok guyup Melayu Loloan. Namun, pada generasi muda, interaksi antara sesama didominasi oleh bahasa Indonesia. Dalam dunia pendidikan, pemertahanan bahasa Melayu Loloan ini melemah. Terlebih apabila dominasi warga Loloan lebih sedikit dari pada siswa non-Loloan (Sumarsono, 2002:276-277). Dari hasil penelitian Sumarsono ini, di dapatkan hasil jika penggunaan Bahasa Melayu Loloan ini masih kuat jika antara pembicara dan pendengar didominasi oleh warga Loloan. Namun, penggunaan ini akan melemah jika terdapat beberapa lawan bicara yang bukan berasal dari warga Loloan.
Dari laporan ini dapat disimpulkan jika penguasaan terhadap bahasa kedua, dalam hal ini bahasa Bali, tidak serta merta menggeser bahasa pertama atau bahasa Melayu Loloan. Penguasaan bahasa kedua yang baru dalam hal ini Bahasa Indonesia tidak lalu menggeser bahasa pertama hanya mengurangi peran bahasa kedua yang lama yaitu Bali.
Dari laporan Sumarsono diatas dapat disimpulkan jika, kemungkinan punahnya Bahasa Melayu Loloan belum jelas dan belum dapat dilihat sekarang. Sebab pergeseran dan proses kepunahan bahasa itu memerlukan waktu yang tidak singkat dan melalui beberapa generasi (Chaer, 2004:148). Hal ini juga dipengaruhi oleh sikap dan keputusan berbahasa dari pengguna bahasa itu sendiri. Mereka menyepakati untuk terus menggunakan bahasa pertama mereka atau beralih ke bahasa kedua.  Hal ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mempertahankan bahasa daerah yang lain agar tidak tergerus dan tergeser dari perkembangan bahasa yang dinilai masyarkat lebih modern dan prestisius.
Pemertahanan bahasa daerah baik dari bahasa nasional maupun bahasa asing tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya peran dan kontribusi pengguna bahasa daerah itu sendiri. Keberlangsungan bahasa daerah ini memerlukan sikap positif yang melandasi pengguna bahasa akan norma-norma penggunaan bahasa. Garvin dan Mathiot (1968) mengemukakan sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini antara lain; 1) kesetiaan bahasa yakni sikap yang mendorong masyarakat suatu bahasa memepertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain, 2) kebanggaan bahasa yakni sikap yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakan sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, 3) kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa. Sebaliknya, apabila ketiga sikap ini mulai melemah dan tidak ada dalam seorang pengguna bahasa, maka pengguna bahasa ini dapat dikatakan seorang pengguna bahasa yang buruk. Sikap pengguna bahasa yang buruk ini dapat digambarkan dengan rasa ke-takbangga-an terhadap bahasa yang dipakainya. Rasa ketakbanggaan ini dipengaruhi oleh faktor gengsi, budaya, ras, etnis atau politik (Chaer, 2004:152). Sikap ini akan tampak dalam keseluruhan tindak tuturnya, seperti mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib dan tidak menggunakan kaidah yang berlaku.
Pada akhirnya sampailah kita pada simpulan bahwa keberlangsungan suatu bahasa akan nihil hasilnya jika tidak ada peran serta dan penggunaan bahasa yang baik oleh pengguna bahasa itu sendiri. Akan tetapi pengguna bahasa memiliki caranya masing-masing untuk memilih bahasa apa yang akan digunakan dan mana yang tidak. Sehingga, dari sejarahlah nanti kita akan melihat apakah suatu bahasa akan tetap bertahan atau tidak. Begitu juga yang terjadi dengan berbagai bahasa daerah sebagai bahasa etnik yang dimiliki oleh Indonesia. Di tangan kita lah bahasa ini akan terus hidup dan berkembang. Namun di tangan kita pula lah bahasa ini akan mati dan hanya akan ada dalam cerita dan sejarah. Untuk itulah sebagai generasi yag bijak akan lebih baik jika kita terus mewariskan warisan bahasa budaya ini hingga dapat dinikmati juga oleh anak cucu dan generasi mendatang. 

REFERENSI

Ayotrahaedi. 1990. Kubur pun Sudah Digali, Proses Kepunahan Sebuah Bahasa dalam Muhadjir dan Basuki Suhardi (Ed). 1990 dalam Chaer dan Agustina (Ed). 2004
Bloomfield,L. 1933. Language. New York:Holt, Rinehart and Winston dalam Tarigan, H.G (Ed) 1984.
Chaer, A and Agustina L. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Danie, Julianus Akun. 1987. Kajian Geografi Dialek Minahasa Timur Laut. Disertasi pada Universitas Indonesia Jakarta dalam Chaer dan Agustina (Ed). 2004.
Encyclopedia Britanica, 1965 dalam Tarigan (Ed), 1984.
Fishman. 1972. The Description of Societal Bilingualism dalam Anwar S Dill (Ed) 1972 dalam Chaer dan Agustina (Ed). 2004.
Garvin, P.L. dan Mathiot, M. 1968. The Urbanization of The Guarani Language: Problem in Language and Culture dalam Fishman (Ed.) 1968.
Grosjean, F. 1982. Life with two languages: An introduction to bilingualism. Cambridge, MA: Harvard University Press dalam Tarigan (Ed), 1984.
Mc Laughlin, B. 1984. Second Language Acquisition in Childhood: Volume I. Preschool Childreen (Second Edition). Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Disertasi FSUI. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 1990 dalam Sumarsono (Ed) 2002 dan Chaer dan Agustina (Ed) 2004.
___________. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tarigan, H.G. 1984. Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung: Penerbit Angkasa. 

Saturday, November 17, 2012

Sundak, Indrayanti, and Sepanjang Beach of Gunung Kidul

Assalamu'alaikum..
Ibarat mesin waktu, blog saya ini membawa saya kembali ke cerita-cerita masa lalu yang bahkan terlalu indah untuk sekedar dikenang. Setelah mempunyai banyak waktu luang setelah menyelesaikan studi, akhirnya saya mempunyai kesempatan untuk share cerita-cerita (kurang kerjaan) kami yang selalu kami nanti.
Pada postingan kali ini, saya ingin menceritakan suka dan duka perjalanan sebagai seorang semi-bagpacker kami di Jogja. Kenapa dikatakan semi? Yah, karena kita ga bener-bener jalan kaki alias masih menggantungkan hidup pada motor-motor kami. Hal ini berdasarkan pengalaman nggembel di Jogja beberapa bulan  lalu (the post will be cooming soon) tanpa motor. Fyuhh, sungguh mengenaskan dan menelan budget yang ga sedikit. Alhasil, perjalanan kali ini motor Honda Beat kesayangan kamipun menjadi pahlawannya.

Perjalanan dimulai sekitar pukul 15.00 WIB, saya meluncur dari Semarang bermodalkan ijin dari orangtua nganter adek berangkat ke kosan di Jogja sonoh. Dengan seribu satu alasan bahwa mengantar adek adalah hal yang sangat mulia, maka ibu abah pun memberi restu mereka.


Langsung deh cyus naik motor dari Semarang. Dari sini, seharusnya seperti biasa kami berkumpul di base camp dan langsung cyus ke tempat tujuan. Namun, sungguh sangat disayangkan personil Semarang selain saya cc Qothrun Nada tidak bisa ikutan karena minimnya dana. Yodah deh, dari Semrang kami bertiga aku, adek, ama Misbah Elmaixi naik motor. Kami berangkat dr Semarang menuju Surakarta terlebih dahulu sebelum ke Jogja karena musti menjemput personil terakhir cc Lee Cha di kosannya. Meski di jalanan diguyur hujan lebat karena memang planning-nya serba dadakan tanpa searching prakiraan cuaca dulu.


Di jalanan si Lee Cha ni uda galau galau rempong gitu sms kenapa belom nyampai-nyampai jugak. Dan finally, we touched down Solo at 20.00 dan mampir sholat di masjid (lupa namanya) sekitar Manahan. Karena baru pertama kali ke kosan Lee Cha jadinya sempet rempong juga telpon2an janjian ketemuan dimana gt. Di perjalanan menuju kosan Lee Cha karena hujan deras dan harus pake jas ujan, suasana semakin semrawut. Tibalah kami di pom bensin, yang mana deket banget sama kosan Lee Cha, adekku mencoba menghubungi temannya. Namun, alangkah malang setelah disadari hape desye ilang. Suasana menjadi semakin runyam karena hari sudah semakin larut. Di malam sendu nan galau itu, adekku dan Misbah El Malixi harus puter baik keliling Manahan-Slamet Riyadi untuk nguber si hape malang. Namun malang sungguh malang karena hape-nya sudah berada di tangan orang yang tak bertanggung jawab yang ogah ngembaliin tuh hape meski sudah di telpon dan di sms (ya iyalah).

Kami pun memutuskan untuk menginap di Solo karena hari sudah semakin malam.   Karena kosan Lee Cha kos cewek, jd laki-laki ga boleh nginep. Sempat terbersit di benak mereka cc faried nabil and Misbah Elmalixi mo nginep di warnet or masjid2 sekitar Solo. Sayang, pintu gerbang masjid di Solo kebanyakan di gembok setelah selesai jamaah Isya. Praktis, sempet bingung juga nih mo naroh punggung dimana mereka.  Beruntung ada temennya Lee Cha yang mau memberikan tumpangan menginap setelah perdebatan panjang di mana para bujang laki-laki akan menghabiskan malam.
Pagi harinya, di kota Solo yang cerah dan damai kami memulai perjalanan menuju Jogja. Perjalanan dimulai pukul 07.00 melewati Klaten. Di alun-alun Klaten kami berhenti sejenak, untuk membeli sarapan. Soto ayam (yang ga jelas rasanya) dan nasi gudeg serta 1 gelas teh panas kami beli dengan harga 12 ribu. Murah bukan? Itulah mengapa kami sangat mendambakan perjalanan ke pelosok-pelosok desa.
Atas saran temennya adekku yang berdomisili di Klaten, kami memulai perjalanan ke Gunung Kidul. Menurutnya banyak sekali pantai-pantai yang indah (jauh lebih indah dari Parang Tritis) di sana yang (mungkin)  belum pernah kami lihat sebelumnya. Melewati Klaten dan tiba di Jogja, yang pertama kami temui adalah candi Prambanan. Kami hanya bisa melihatnya dari jauh sajoo. Karena tiadanya waktu dan budget  tentu saja. Menuju Gunung Kidul, jam di tangan sudah menunjukkan angka 08.30 atau sekitar 09.00 an.
Ternyata, jalan yang kami tempuh tidak mudah dan dekat. Dari Jogja menuju Gunung Kidul kamu harus melewati pegunungan dengan jalan yang penuh tanjakan dan tikungan. Cukup melelahkan perjalanan menuju Gunung Kidul dengan motor.
Setelah hampir 2-3 jam kami mengendarai motor, tibalah kami di jalan-jalan yang di dekatnya tertancap plang2 bertuliskan nama-nama pantai yang asing di telinga kami. Ada pantai Sundak, Baron, Kukup, Krakal yang sudah sangat familiar namun belum pernah kami datangi. Namun pantai yang paling baru adalah pantai Indrayanti. Konon, pantai ini baru sjaa ditemukan oleh seorang petani. Dan Indrayanti adalah nama istrinya yang diabadikan untuk menjadi nama Pantai tersebut. Karena pantai-pantai di Gunung Kidul beragam dan lokasinya berdekatan, kami memarkirkan motor kami, di pantai yang ada dekat dengan Pantai Indrayanti. Pantai Sundak, namanya.


Apa yang ada di benak Lee Cha saat itu, aku tak tau




ga bisa buat maenan aer






Dikarenakan tiba saat tengah hari siang bolong, sudah bisa ditebak seperti apa suasana pantai saat itu, Itulah mengapa kami sempat bingung mau ngapain ya, kayaknya kalo maenan air bikin kita jadi tambah gosong dweh.

Kami pun memutuskan untuk langsung cabs ke Indrayanti. Karena jaraknya yang sangat dekat dari pantai sundak, kami cukup berjalanan kaki dari parkiran sajah.

Jalan menuju Indrayanti sangat indah, di kanan-kiri jalan dipenuhi pepohonan rindang. Jauh dari kata terik nan panas.




Baru kali ini aku ga sadar kamera rasanya


Karena merupakan pantai baru, maka banyak investor yang membuka bisnis di Pantai ini. Tak heran, banyak kafe-kafe yang di desain sedemikian rupa untuk menarik wisatawan. 

Pantai ini masih sangat alami dan asri, dan dikelilingi oleh pegunungan yang rendah. 
Bentuk cafe-nya unik


Karena pas jam 12 teng kita sampe, abis sholat dzuhur kita blank mo ngapain. Maenan air di siang bolong  ga asik banget deh rasanya. So, yang kita lakuin cuma berdiam diri di bawah payung yang bisa di sewa dengan harga 20 ribu plus tikar 10 ribu. Selain itu kita juga pesen es kelapa muda seharga 7 ribu per porsi sambil menunggu panas mereda. 






Setelah es kelapa muda habis tersruput oleh kami berlima, aku, Lee Cha, Nabil, temennya Nabil, n Misbah, kami melanjutkan perjalanan menuju pantai Sepanjang. Konon, pantai ini adalah Kute-nya Gunung Kidul. Karena menggunakan sepeda motor, perjalanan kami tempuh melalui jalan-jalan pedesaan melewati sawah-sawah nan hijau dan perkampungan warga. Dari Indrayanti menuju Sepanjang dibutuhkan kurang lebih 30 menit. Kami melewati pantai Kukup, Baron, dan Krakal. Maksud hati ingin menjelajah semua pantai yang ada, namun waktu rasanya tak bersahabat. Kami khawatir akan terjebak malam di jalan Gunung Kidul yang penuh dengan hutan. 

Tibalah kami di pantai sepanjang yang masih sangat alami dan perawan. Karena belum terjamah investor dan pengelolaan belum dikelola oleh Pemerintah setempat, pembelian karcispun hanya dilayani oleh masyarakat sekitar. Jalananpun masih berupa bebatuan terjal. Tanaman yang tumbuh disana-sini tidak di kelola dengan baik. Musholla-pun tak ada, sehingga kami terpaksa sholat ashar di atas pasir pantai. Sungguh amat syahduuuuu. 



Pantai ini sebenarnya sangat sangat indah. Namun sayang, pemerintah setempat belum melirik untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Kami menghabiskan sore hingga menjelang maghrib dengan sengaja untuk melihat sunset sepanjang. 










Kami baru sadar bahwa saat itu jam sudah menunjukkan pukul 06.30 sore. Segera saja kami sholat maghrib di musholla milik warga yang tinggal dekat dengan pantai. 

Subhanalloh, ketika malam tiba tempat ini begitu sunyi dan gelap. Yang ada hanya suara debur ombak, langit luas yang membentang beralaskan tebing-tebing tinggi. Tak terbayang bagaimana bapak yang tinggal di dekat Pantai tadi menjalani malam hari tanpa adanya listrik dan penerangan yang cukup. Hanya ada lampu minyak dan senter yang dia miliki untuk sekedar membantu kami mengambil wudhu. 

Dan, tibalah kami menyusuri malam dan di jalanan Gunung Kidul yang gelap, dan dingin.  


Sampai di Jogja jam sudah menunjukkan pukul 09.00 malam. Dan kamipun masih bingung harus menginap dimana. Untung saja banyak hotel-hotel di Jogja yang dapat disewa dengan harga yang sangat terjangkau. Akhirnya kami menghabiskan malam dengan menginap di hotel dekat Malioboro (lupa namanya) dengan tarif 80 ribu per malam dengan 2 bed.


Kesan hari itu, meski perjalanan sangat melelahkan namun hal itu terbayarkan setelah melihat indahnya pantai-pantai yang tersebar di Gunung Kidul. 

Thursday, November 15, 2012

Postgraduate Graduation

Alhamdulillah, akhirnya punya kesempatan menulis blog juga setelah sekian lama menenggelamkan diri dalam dunia tulis menulis akademis (ceilehhh). Pada kesempatan pertama ini (formal banget bahasanya yak), saya sekedar ingin menunjukkan jiwa narsis sekaligus ngeksis saya saat wisuda Pascasarjana tempo hari.
Yak!, alhamdulillah finally, bisa menyandang gelar master di usia yang terbilang (masih) muda. Banyak bersyukur kepada Alloh karena diberikan orang tua dan orang-orang di sekitar yang banyak memotivasi untuk maju dengan baik, baik, dan baik. 
Namun, ada sedikit cerita sedih di hari bahagia. Ketidak hadiran kedua orang tua menemani prosesi wisuda sempat bikin sedih. It was due to the reason that they had pilgrimage journey at Mecca. Yups, mereka sedang menunaikan ibadah haji. Karena, sama-sama penting, maka sebagai anak putri yang santun dan baik harus merelakan foto-foto wisuda di bawah ini tanpa adanya mereka. Meski bisa sih foto studi lagi kalau mereka sudah pulang nanti, he he.
Yuk simak dulu foto-foto wisuda kemaren that was held on October 23 and 25 at Patrajasa Semarang and Prof. Sudharto Auditorium Diponegoro University.
Let's check them out!!




Wif ma lovely niece

They're my truly beloved friends

After dhuhur, before went to the Prof. Sudharto Auditorium wif   @Lee Cha

She also accompanied me cc @Qothrun Nada

The Aura inside was so so so wonderful and awesome

Wif @fariednabil, ma naughty younger brother

And this is it, ma lovely kabaya. Worn on undergraduate and postgraduate graduation