Assalamualaikum...
Salam sejahtera untuk kita semua
Karena tingkat kemalasan yang cukup tinggi untuk menghasilkan karya dan tulisan baru, maka pada kesempatan kali ini saya (hanya) akan me-repost tulisan yang sudah saya tulis beberapa waktu lalu ketika masih eksis sebagai mahasiswa dulu.
Tulisan yang akan saya bahas ini mengenai bidang keilmuan yang saya tekuni selama ini. Ilmu linguistik. Sesuai judul-nya maka saya akan membahas bagaimana menyeimbangkan penggunaan bahasa daerah dengan Bahasa Indonesia. Hal ini bertujuan untuk melestarikan Bahasa daerah agar terhindar dari kepunahan dan memaksimalkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional.
Mengapa Bahasa Indonesia sebagai
bahasa Nasional justru menurunkan peran atau fungsi bahasa daerah sebagai
bahasa etnik? Apa yang harus dilakukan oleh pengguna bahasa agar bahasa daerah
sebagai bahasa etnik di setiap daerah tidak tergerus oleh Bahasa Indonesia yang
semakin berkembang sebagai bahasa Nasional saat ini?
Pertanyaan diatas muncul dalam
benak saya mengingat eksistensi bahasa daerah, dalam hal ini Bahasa Jawa, di
daerah tempat tinggal saya mengalami degradasi atau penurunan fungsi. Dewasa
ini Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional justru menurunkan pamor atau peran
bahasa daerah sebagai bahasa etnik. Banyak anggota masyarakat di daerah saya mulai dari ibu-ibu muda, remaja, hingga anak-anak menggunakan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa keseharian. Sedangkan kelompok orang tua baik laki-laki maupun
perempuan masih tetap mempertahankan penggunaan Bahasa Jawa sebagai bahasa
keseharian dan sarana untuk berkomunikasi antara sesama.
Fenomena tersebut
memiliki segi positif maupun negatif. Di satu sisi, Bahasa Indonesia berkembang
dengan baik dan digunakan oleh setiap elemen masyarakat baik tua dan muda di
desa maupun di kota. Ini artinya, Bahasa Indonesia semakin menunjukkan
eksistensinya sebagai simbol nasionalisme Bangsa Indonesia. Hal ini menjadi
tolak ukur bahwa nasionalisme bangsa Indonesia tidak dapat diganggu gugat dan
dicerai berai dari segi kebahasaan. Meskipun, jika dilihat dari luar bangsa
Indonesia merupakan bangsa multietnik karena terdiri dari berbagai macam suku.
Namun di sisi lain,
kerberadaan bahasa daerah mulai bergeser. Masyarakat cenderung memakai Bahasa
Indonesia disetiap aspek kehidupan. Jika beberapa dekade yang lalu Bahasa
Indonesia hanya digunakan pada situasi formal seperti pada bidang pendidikan,
pemerintahan, maupun kesehatan saat ini sebagian besar komponen masyarakat
telah menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Mereka
beranggapan penggunaan Bahasa Indonesia mencerminkan keadaan sosial penggunanya
yang lebih berpendidikan dan secara ekonomi lebih mapan. Lebih lanjut, hegemoni yang berkembang di masyarakat menggambarkan
jika penggunaan bahasa daerah dianggap mencerminkan
penggunanya yang kurang berpendidikan, dan berasal dari kelas ekonomi menengah
ke bawah. Jika hal ini terus berlanjut dan bertahan dari masa ke masa, maka
semakin lama masyarakat mulai meninggalkan bahasa daerah mereka untuk
berkomunikasi. Masyarakat lebih memilih menggunakan dan mengajarkan Bahasa
Indonesia kepada anak cucu mereka karena faktor sosial dan budaya. Hal ini akan
menimbulkan permasalahan dimana bahasa etnik atau bahasa daerah yang menjadi
simbol kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia lama kelamaan akan punah seiring
dengan berkurangnya pengguna bahasa daerah tersebut.
Dalam tulisan kali ini,
saya akan mencoba memberikan solusi dengan dukungan dari berbagai sumber
terkait dengan sikap kebahasaan oleh pengguna bahasa agar bahasa etnik yang
menjadi ciri khas kebudayaan mereka dapat dipertahankan dan dilestarikan. Tindakan
ini juga harus dibarengi dengan tidak meninggalkan dan mengembangkan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa Nasional. Sehingga perkembangan Bahasa Indonesia akan
terus berjalan seiring dengan lestarinya bahasa daerah sebagai ciri khas
kebudayaan Indonesia.
Sumarsono dalam bukunya
Sosiolinguistik (2002, 76) menyatakan bahwa masyarakat aneka bahasa atau
masyarakat multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat
aneka bahasa ini terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyarakat,
sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural
society).
Kebanyakan bangsa di
dunia memiliki lebih dari satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu dalam
wilayah yang dihuni bahasa itu. Termasuk di dalam negara-negara tersebut adalah
Indonesia. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 500 bahasa yang digunakan
sebagai bahasa ibu di setiap dearah yang memiliki penggunanya masing-masing.
Keanekabahasaan dalam
suatu negara selalu menimbulkan masalah atau paling tidak mengandung potensi
akan timbulnya masalah (Sumarsono, 2002:78). Meskipun Indonesia hanya memiliki
satu bahasa sebagai bahasa Nasional, namun bahasa daerah di Indonesia sangat
beragam. Masing-masing bahasa daerah tersebut menjadi bahasa ibu bagi masing-masing
penduduk di daerah tertentu. Dengan kata lain, masing-masing bahasa memiliki
masing-masing pengguna bahasa yang berbeda satu sama lain. Hal ini sejalan
dengan apa yang diungkapkan Sumarsono (2002, 164) bahwa sebuah negara kadang-kadang
hanya mengenal satu dua bahasa, tetapi banyak negara yang secara linguistik
terpilah pilah, sehingga tidak mustahil setiap anak menjadi dwibahasawan
(blingual) atau anekabahasawan (multilingual).
Penguasaan dua atau
lebih bahasa dwibahasa atau multibahasa merupakan suatu keterampilan khusus.
Dwibahasa atau multibahasa merupakan istilah-istilah nisbi selama para individu
memang sangat beraneka ragam dan berbeda dalam hal tipe dan taraf kemahiran
berbahasa (Encyclopedia Britannica, 1965 dalam Tarigan, 1984:4).
Bilingualisme adalah pengawasan yang mirip asli
terhadap dua bahasa. Tentu saja seseorang tidak akan dapat membatasi taraf
kesempurnaan yang merupakan wadah seorang pembicara asing yang baik menjadi
seorang dwibahasawan: pembedaan itu sangat relatif (Bloomfield, 1933 dalam
Tarigan, 1984:4).
Kedwibahasaan atau
bilingualisme secara praktis ada pada setiap negara di dunia, pada semua
lapisan masyarakat dan pada semua kelompok usia (Grosjen, 1982 dan Mc Laughin,
1984:1 dalam Tarigan, 1984:13). Secara Sosiolinguistik, bilingualisme diartikan
sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan
orang lain (McKey, 1962 dan Fishman, 1975 dalam Chaer, 2004:84) Untuk dapat
menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu yakni bahasa ibunya atau bahasa
daerah dan bahasa keduanya, dalam hal ini bahasa Indonesia. Sehingga, perlu
proses pembelajaran untuk menguasai dengan baik penggunaan bahasa kedua dalam
hal ini Bahasa Indonesia disamping bahasa daerah sebagai bahasa ibu mereka. Fenomena
kedwibahasaan merupakan suatu yang sepenuhnya bersifat nisbi atau relatif. Oleh
karena itu, kita akan mempertimbangkan atau menganggap kedwibahasawan sebagai
penggunaan secara berselang-seling dua bahasa atau lebih oleh pribadi yang sama
(Mackey, 1962).
Masalah yang timbul adalah setiap anak-anak
diwajibkan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di bidang
pendidikan, sedangkan di lain pihak mereka kembali menggunakan bahasa daerah
mereka ketika tidak berada di bangku sekolah. Inilah yang terjadi pada beberapa
dekade yang lalu, dimana Bahasa Indonesia belum berkembang dengan baik sebagai
bahasa Nasional. Sebaliknya, apa yang terjadi saat ini adalah Bahasa Indonesia
menjadi bahasa pengantar yang digunakan baik di bidang formal maupun informal,
dalam artian, bahasa ini juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Saya beranggapan
bahwa penting sekali menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, melestarikan penggunaan berbahasa daerah juga
tidak boleh ditinggalkan bagi setiap individu dimana bahasa etnik itu digunakan.
Ditambah dengan kebijakan baru pemerintah untuk mempelajari bahasa asing,
sebagai contoh Bahasa Inggris, dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah.
Hal ini tentu menjadi beban yang berat bagi setiap anak, dimana mereka harus
menguasai paling tidak tiga bahasa diusia mereka yang sudah melewati critical period, masa dimana seseorang dapat belajar bahasa dengan baik. Sehingga perlu pembatasan dan penyelarasan agar
setiap anak dapat berbahasa dengan baik sesuai dengan konteks bahasa apa yang
harus digunakan. Kapan dan dimana seharusnya anak menggunakan bahasa Indonesia,
bahasa daerah, dan bahasa asing.
Berdasarkan pentingnya
bagi nasionalisme, maka perkembangan rasa nasion tersa lebih sulit bagi negara
anekabahasa dari pada negara ekabahasa (Sumarsono, 2002:174). Negara
anekabahasa ini dapat mendekati masalah ini dengan dua cara: 1) mereka dapat
berusaha mengembangkan bahasa nasional, atau 2) mereka dapat mencoba
mengembangkan nasionalisme tidak berdasarkan bahasa. Sebagian besar negara
mengambil cara pertama termasuk Indonesia. Untuk itulah, Pemerintah Indonesia
mulai menggalakkan pentingnya berbahasa Indonesia bagi setiap warganya di
seluruh penjuru negeri. Namun, masalah yang muncul adalah bagaimana warga yang
bukan penutur asli bahasa X harus menyesuaikan dengan menggunakan bahasa
tersebut dengan baik. Selain itu, bagaimana cara mereka menggunakan bahasa
nasional yang baik namun tetap mempertahankan eksistensi bahasa ibu mereka. Hal
ini bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini menyangkut pada pergeseran bahasa, pemertahanan
bahasa, dan sikap berbahasa.
Pergeseran bahasa menyangkut
masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang
bisa terjadi sebagai akibat dari suatu masyarakat tutur ke masyarakat tutur
lain (Chaer, 2004:142). Kalau seorang atau sekelompok orang penutur pindah ke
tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan mereka, maka
akan terjadilah pergeseran bahasa ini (Chaer, 2004:142).
Pergeseran bahasa yang
dimaksud disini adalah apabila ada sekelompok orang atau individu berpindah
tempat dari tempat asalnya ke tempat yang lain, dimana tempat yang baru ini memiliki bahasa
yang berbedea dengan bahasa ibu mereka, maka lama kelamaan orang yang tinggal
ditempat baru tersebut akan menggunakan bahasa dimana mereka tinggal. Jika
keadaan ini terjadi di Indonesia, maka dapat dengan mudah digunakan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional. Namun, jika dalam keseharian anggota
masyarakat di lingkungan yang baru ini banyak menggunakan bahasa daerah sebagai
alat komunikasi, mau tidak mau pendatang baru ini akan menggunakan sedikit demi
sedikit bahasa ditempat asal. Dan lama kelamaan apabila bahasa ibu mereka sudah
tidak lagi digunakan, maka terjadilah pergeseran bahasa dari bahasa ibu mereka
ke bahasa dimana mereka tinggal.
Hal inilah yang sedikit
banyak mempengaruhi perubahan penggunaan
bahasa daerah akhir-akhir ini. Saya mengambil contoh fenomena
perubahan bahasa ini di Kota Semarang. Karena banyaknya pendatang baru yang
tinggal dan bersinggungan dengan penduduk asli, maka dipilihlah Bahasa
Indonesia untuk menjembatani perbedaan bahasa daerah antara pendatang baru
dengan penduduk asli. Jika kondisi seperti ini berjalan terus menerus dan
berkesinambungan, maka lama kelamaan sebagian besar penduduk asli akan
menggunakan Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan pendatang baru yang
mulai banyak tinggal di Semarang. Penduduk asli pun akan lebih memilih
mengajarkan dan menggunakan bahasa daerah kepada anak-anak mereka. Hal ini
untuk memudahkan pengajaran dan penggunaan bahasa. Akibatnya, Bahasa daerah itu
sendiri mulai jarang digunakan dan diajarkan kepada generasi selanjutnya.
Pergeseran bahasa
biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan untuk
kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran/
transmigran untuk mendatanginya (Chaer, 2004:144). Fishman (1972) telah
menunjukkan terjadinya pergeseran bahasa para imigran di Amerika. Keturunan
ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah tidak mengenal lagi bahasa
ibunya (B-ib).
Danie (1987) dan Ayotrahaedi (1990) melaporkan ada
pergeseran bahasa yang menyebabkan kepunahan bahasa di tempat bahasa itu
digunakan karena tidak ada lagi penuturnya atau penuturnya secara drastis sudah
sangat berkurang. Hal inilah yang bisa terjadi pada bahasa daerah dimana
penggunanya sudah mulai beralih menggunakan Bahasa Indonesia.
Proses pergeseran
bahasa yang dijabarkan oleh Fishman diatas, secara tidak langsung turut
mengakibatkan kepunahan bahasa disuatu tempat. Adanya pendatang baru yang lebih
memilih menggunakan Bahasa Indonesia, menyebabkan penduduk asli juga
menggunakan Bahasa Indonesia. Lama-kelamaan seiring bertambahnya pendatang dan
faktor sosial bahasa Indonesia ini lebih diminati karena tidak mempersulit
untuk diajarkan kepada anak. Dalam penelitiannya di wilayah Minahasa Timur,
Sulawesi Utara Danie (1987) menemukan adanya bahasa daerah yang pemakainya dan
penuturnya sudah sangat menurun. Penyebab penurunan pengguna bahasa ini antara
lain adalah a) bahasa Melayu Manado merupakan bahasa yang berprestise tinggi di
daerah itu, b) bahasa Melayu Manado sudah lama berfungsi sebagai lingua
franca di daerah itu, c) kebutuhan akan bahasa pengantar, Bahasa Indonesia,
bagi anak-anak untuk memasuki sekolah, dan d) berkembangnya bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara dan bahasa nasional di daerah itu. Dalam kasus ini,
bahasa Melayu Manado memiliki jenis dan bentuk bahasa yang tidak jauh berbeda
dengan bahasa Indonesia, sehingga semua keluarga mendidik anak-anaknya
berbahasa Indonesia sejak kecil, walaupun yang diajarkan bahasa Melayu Manado.
Berbeda dengan
penelitian Danie dimana bahasa Melayu Manado memiliki struktur yang tidak jauh
berbeda dengan bahasa Indonesia, bahasa Jawa juga dapat mengalami kepunahan
karena berkurangnya pengguna bahasa Jawa. Penyebabnya sama seperti dengan
penyebab kepunahan bahasa Melayu Manado pada poin (c) dan (d) di atas.
Kebutuhan berbahasa Indonesia sebagai pengantar dalam bidang pendidikan,
mengharuskan anak-anak untuk dapat menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
Terlebih kemajuan teknologi informasi baik elektronik maupun media cetak yang
semakin pesat saat ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantarnya. Sehingga, kebutuhan untuk berbahasa Indonesia sangat penting dan mendesak.
Penggunaan bahasa daerah, kemudian, dianggap kurang penting karena seluruh
sumber informasi dan ilmu pengetahuan disajikan dengan pengantar Bahasa
Indonesia. Meskipun, ada juga pengetahuan yang dapat diperoleh dengan pengantar
bahasa daerah.
Peristiwa pergeseran
bahasa ini dapat terjadi dimana-mana di muka bumi ini mengingat dalam dunia
modern sekarang arus mobilitas penduduk sangat tinggi. Wilayah, daerah atau
negara, yang memberi harapan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik diserbu
dari mana-mana, sedangkan yang prosesnya suram segera ditinggalkan (Chaer,
2004:146). Sama halnya dengan daerah seperti apa yang memungkinkan terjadinya
pergeseran bahasa, bahasa yang memberi prospek untuk kehidupan yang lebih baik
akan terus digunakan dan dikembangkan namun, bahasa yang tidak memberi jaminan
kehidupan yang lebih baik akan ditinggalkan dan tidak digunakan. Hal ini dapat
dicontohkan dengan Bahasa Inggris dan bahasa daerah. Pembelajaran Bahasa Inggris
lebih menguntungkan dari pada Bahasa daerah, karena dengan bahasa asing kesempatan
untuk menguasai dunia global lebih baik dari hanya sekedar belajar bahasa
daerah. Penggunaan bahasa ibu atau bahasa pertama oleh sejumlah penutur dari
suatu masyarakat yang bilingual atau multilingual cenderung menurun akibat
adanya bahasa kedua yang mempunyai fungsi yang lebih superior (Chaer,
2004:146).
Namun, kedwibahasaan
masyarakat bukanlah satu-satunya penyebab pergeseran bahasa. Hampir semua kasus
pergeseran bahasa terjadi melalui alih generasi dan menyangkut lebih dari satu
generasi. Jarang terjadi sejumlah individu dalam suatu masyarakat menanggalkan
dan mengganti bahasa dengan bahasa lain dalam kurun hidupnya (Sumarsono,
2002:235). Ini artinya, setiap individu tidak mungkin mengalami pergeseran
bahasa dalam hidupnya. Pergeseran bahasa terjadi dalam konteks yang lebih luas yaitu
pergeseran oleh alih generasi. Jadi pergeseran bahasa tidak dapat dinilai dari
satu orang individu atau kelompok melainkan dari generasi ke generasi.
Sehingga, dalam kurun waktu yang lama pegseran bahasa dapat dilihat, hingga
akhirnya bisa saja terjadi kepunahan bahasa.
Pergeseran bahasa dan
pemertahanan bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi,
pergeseran bahasa mengacu kepada bahasa yang tergeser oleh bahasa yang lain. Di
lain sisi, pemertahanan bahasa merujuk pada suatu bahasa yang tidak tergeser
oleh bahasa yang lain (Sumarsono, 2002:231). Kedua kondisi itu merupakan akibat dari
pilihan bahasa dalam jangka panjang (paling tidak tiga generasi) dan bersifat
kolektif (dilakukan oleh sebagian warga) (Sumarsono, 2002:231). Dalam
pemertahanan bahasa, sekelompok pengguna bahasa memilih untuk tetap melanjutkan
menggunakan bahasa ibunya meskipun suadah ada bahasa kedua yang masuk kedalam
komunitas tersebut.
Adakalanya, pengunaan
bahasa ibu atau bahasa pertama yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat
bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua yang lebih dominan (Chaer,
2004:147). Sumarsono (1990) melaporkan tentang pemertahanan bahasa melayu
Loloan di desa Loloan termasuk dalam wilayah kota Nagara Bali. Mereka berhasil
mempertahankan penggunaan bahasa Melayu Loloan yang berasal dari nenek koyang
mereka yang berasal dari Bugis dan Pontianak ditengah-tengah masyarakat Bali
yang menggunakan Bahasa Bali sebagi bahasa ibu. Hal ini dapat bertahan karena
beberapa faktor. Faktor tersebut ialah 1) wilayah pemukiman mereka
terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis agak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali, 2)
adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa
Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan, 3) anggota
masyarakat Loloan mempunyai sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap
masyarakat, budaya, dan Bahasa Bali, 4) adanya Loyalitas terhadap bahasa Melayu
Loloan sebagai lambang identitas diri masyarkat Loloan, 5) adanya kesinambungan
pengalihan bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya
(dalam Chaer, 2004:147). Selain bahasa Bali, bahasa yang lebih tinggi dari
bahasa Melayu Loloan adalah Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Masyarakat Loloan pun tidak berkeberatan untuk menggunakan bahasa Indonesia
dalam kegiatan keagamaan, karena tidak ada konotasi keagamaan dalam Bahasa
Indonesia. Banyak ranah sosial yang tadinya menggunakan bahasa Melayu dan
Bahasa Bali berubah menggunakan Bahasa Indonesia.
Warga Melayu Loloan
akan menggunakan bahasa Indonesia jika tetangganya bukan merupakan kelompok
guyup Melayu Loloan. Namun, pada generasi muda, interaksi antara sesama
didominasi oleh bahasa Indonesia. Dalam dunia pendidikan, pemertahanan bahasa
Melayu Loloan ini melemah. Terlebih apabila dominasi warga Loloan lebih sedikit
dari pada siswa non-Loloan (Sumarsono, 2002:276-277). Dari hasil penelitian Sumarsono
ini, di dapatkan hasil jika penggunaan Bahasa Melayu Loloan ini masih kuat jika
antara pembicara dan pendengar didominasi oleh warga Loloan. Namun, penggunaan
ini akan melemah jika terdapat beberapa lawan bicara yang bukan berasal dari
warga Loloan.
Dari laporan ini dapat
disimpulkan jika penguasaan terhadap bahasa kedua, dalam hal ini bahasa Bali,
tidak serta merta menggeser bahasa pertama atau bahasa Melayu Loloan. Penguasaan
bahasa kedua yang baru dalam hal ini Bahasa Indonesia tidak lalu menggeser
bahasa pertama hanya mengurangi peran bahasa kedua yang lama yaitu Bali.
Dari laporan Sumarsono
diatas dapat disimpulkan jika, kemungkinan punahnya Bahasa Melayu Loloan belum
jelas dan belum dapat dilihat sekarang. Sebab pergeseran dan proses kepunahan
bahasa itu memerlukan waktu yang tidak singkat dan melalui beberapa generasi (Chaer,
2004:148). Hal ini juga dipengaruhi oleh sikap dan keputusan berbahasa dari
pengguna bahasa itu sendiri. Mereka menyepakati untuk terus menggunakan bahasa
pertama mereka atau beralih ke bahasa kedua. Hal ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
mempertahankan bahasa daerah yang lain agar tidak tergerus dan tergeser dari perkembangan
bahasa yang dinilai masyarkat lebih modern dan prestisius.
Pemertahanan bahasa
daerah baik dari bahasa nasional maupun bahasa asing tidak dapat berjalan
dengan baik tanpa adanya peran dan kontribusi pengguna bahasa daerah itu
sendiri. Keberlangsungan bahasa daerah ini memerlukan sikap positif yang melandasi
pengguna bahasa akan norma-norma penggunaan bahasa. Garvin dan Mathiot (1968)
mengemukakan sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini antara lain; 1) kesetiaan bahasa yakni sikap yang mendorong
masyarakat suatu bahasa memepertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah
adanya pengaruh bahasa lain, 2) kebanggaan bahasa yakni sikap yang mendorong
orang mengembangkan bahasanya dan menggunakan sebagai lambang identitas dan
kesatuan masyarakat, 3) kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan
bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar
pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa. Sebaliknya,
apabila ketiga sikap ini mulai melemah dan tidak ada dalam seorang pengguna
bahasa, maka pengguna bahasa ini dapat dikatakan seorang pengguna bahasa yang
buruk. Sikap pengguna bahasa yang buruk ini dapat digambarkan dengan rasa
ke-takbangga-an terhadap bahasa yang dipakainya. Rasa ketakbanggaan ini
dipengaruhi oleh faktor gengsi, budaya, ras, etnis atau politik (Chaer,
2004:152). Sikap ini akan tampak dalam keseluruhan tindak tuturnya, seperti
mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib dan
tidak menggunakan kaidah yang berlaku.
Pada akhirnya sampailah kita pada simpulan bahwa keberlangsungan suatu
bahasa akan nihil hasilnya jika tidak ada peran serta dan penggunaan bahasa
yang baik oleh pengguna bahasa itu sendiri. Akan tetapi pengguna bahasa
memiliki caranya masing-masing untuk memilih bahasa apa yang akan digunakan dan
mana yang tidak. Sehingga, dari sejarahlah nanti kita akan melihat apakah suatu
bahasa akan tetap bertahan atau tidak. Begitu juga yang terjadi dengan berbagai
bahasa daerah sebagai bahasa etnik yang dimiliki oleh Indonesia. Di tangan kita
lah bahasa ini akan terus hidup dan berkembang. Namun di tangan kita pula lah
bahasa ini akan mati dan hanya akan ada dalam cerita dan sejarah. Untuk itulah
sebagai generasi yag bijak akan lebih baik jika kita terus mewariskan warisan
bahasa budaya ini hingga dapat dinikmati juga oleh anak cucu dan generasi
mendatang.
REFERENSI
Ayotrahaedi. 1990. Kubur pun Sudah
Digali, Proses Kepunahan Sebuah Bahasa dalam Muhadjir dan Basuki Suhardi
(Ed). 1990 dalam Chaer dan Agustina (Ed). 2004
Bloomfield,L.
1933. Language. New York:Holt, Rinehart and Winston dalam Tarigan, H.G
(Ed) 1984.
Chaer, A and Agustina L. 2004. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Danie, Julianus Akun. 1987. Kajian
Geografi Dialek Minahasa Timur Laut. Disertasi pada Universitas Indonesia
Jakarta dalam Chaer dan Agustina (Ed). 2004.
Encyclopedia Britanica, 1965 dalam
Tarigan (Ed), 1984.
Fishman. 1972. The Description of
Societal Bilingualism dalam Anwar S Dill (Ed) 1972 dalam Chaer dan Agustina
(Ed). 2004.
Garvin, P.L. dan Mathiot, M. 1968. The
Urbanization of The Guarani Language: Problem in Language and Culture dalam
Fishman (Ed.) 1968.
Grosjean, F. 1982. Life with two
languages: An introduction to bilingualism. Cambridge, MA: Harvard
University Press dalam Tarigan (Ed), 1984.
Mc Laughlin, B. 1984. Second Language
Acquisition in Childhood: Volume I. Preschool Childreen (Second Edition).
Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa
Melayu Loloan di Bali. Disertasi FSUI. Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa 1990 dalam Sumarsono (Ed) 2002 dan Chaer dan Agustina (Ed) 2004.
___________. 2002. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tarigan, H.G.
1984. Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung: Penerbit Angkasa.