Thursday, November 22, 2012

Kajian Sosiolinguistik - Pemertahanan Bahasa Daerah di Era Modern

Assalamualaikum...
Salam sejahtera untuk kita semua
Karena tingkat kemalasan yang cukup tinggi untuk menghasilkan karya dan tulisan baru, maka pada kesempatan kali ini saya (hanya) akan me-repost tulisan yang sudah saya tulis beberapa waktu lalu ketika masih eksis sebagai mahasiswa dulu. 

Tulisan yang akan saya bahas ini mengenai  bidang keilmuan yang saya tekuni selama ini. Ilmu linguistik. Sesuai judul-nya maka saya akan membahas bagaimana menyeimbangkan penggunaan bahasa daerah dengan Bahasa Indonesia. Hal ini bertujuan untuk melestarikan Bahasa daerah agar terhindar dari kepunahan dan memaksimalkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional.


Mengapa Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional justru menurunkan peran atau fungsi bahasa daerah sebagai bahasa etnik? Apa yang harus dilakukan oleh pengguna bahasa agar bahasa daerah sebagai bahasa etnik di setiap daerah tidak tergerus oleh Bahasa Indonesia yang semakin berkembang sebagai bahasa Nasional saat ini?
Pertanyaan diatas muncul dalam benak saya mengingat eksistensi bahasa daerah, dalam hal ini Bahasa Jawa, di daerah tempat tinggal saya  mengalami degradasi atau penurunan fungsi. Dewasa ini Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional justru menurunkan pamor atau peran bahasa daerah sebagai bahasa etnik. Banyak anggota masyarakat di daerah saya mulai dari ibu-ibu muda, remaja, hingga anak-anak menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Sedangkan kelompok orang tua baik laki-laki maupun perempuan masih tetap mempertahankan penggunaan Bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian dan sarana untuk berkomunikasi antara sesama.
Fenomena tersebut memiliki segi positif maupun negatif. Di satu sisi, Bahasa Indonesia berkembang dengan baik dan digunakan oleh setiap elemen masyarakat baik tua dan muda di desa maupun di kota. Ini artinya, Bahasa Indonesia semakin menunjukkan eksistensinya sebagai simbol nasionalisme Bangsa Indonesia. Hal ini menjadi tolak ukur bahwa nasionalisme bangsa Indonesia tidak dapat diganggu gugat dan dicerai berai dari segi kebahasaan. Meskipun, jika dilihat dari luar bangsa Indonesia merupakan bangsa multietnik karena terdiri dari berbagai macam suku.
Namun di sisi lain, kerberadaan bahasa daerah mulai bergeser. Masyarakat cenderung memakai Bahasa Indonesia disetiap aspek kehidupan. Jika beberapa dekade yang lalu Bahasa Indonesia hanya digunakan pada situasi formal seperti pada bidang pendidikan, pemerintahan, maupun kesehatan saat ini sebagian besar komponen masyarakat telah menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Mereka beranggapan penggunaan Bahasa Indonesia mencerminkan keadaan sosial penggunanya yang lebih berpendidikan dan secara ekonomi lebih mapan. Lebih lanjut,  hegemoni yang berkembang di masyarakat menggambarkan jika penggunaan bahasa  daerah dianggap mencerminkan penggunanya yang kurang berpendidikan, dan berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Jika hal ini terus berlanjut dan bertahan dari masa ke masa, maka semakin lama masyarakat mulai meninggalkan bahasa daerah mereka untuk berkomunikasi. Masyarakat lebih memilih menggunakan dan mengajarkan Bahasa Indonesia kepada anak cucu mereka karena faktor sosial dan budaya. Hal ini akan menimbulkan permasalahan dimana bahasa etnik atau bahasa daerah yang menjadi simbol kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia lama kelamaan akan punah seiring dengan berkurangnya pengguna bahasa daerah tersebut.
Dalam tulisan kali ini, saya akan mencoba memberikan solusi dengan dukungan dari berbagai sumber terkait dengan sikap kebahasaan oleh pengguna bahasa agar bahasa etnik yang menjadi ciri khas kebudayaan mereka dapat dipertahankan dan dilestarikan. Tindakan ini juga harus dibarengi dengan tidak meninggalkan dan mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Sehingga perkembangan Bahasa Indonesia akan terus berjalan seiring dengan lestarinya bahasa daerah sebagai ciri khas kebudayaan Indonesia.
Sumarsono dalam bukunya Sosiolinguistik (2002, 76) menyatakan bahwa masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat aneka bahasa ini terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyarakat, sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society).
Kebanyakan bangsa di dunia memiliki lebih dari satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu dalam wilayah yang dihuni bahasa itu. Termasuk di dalam negara-negara tersebut adalah Indonesia. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 500 bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu di setiap dearah yang memiliki penggunanya masing-masing.
Keanekabahasaan dalam suatu negara selalu menimbulkan masalah atau paling tidak mengandung potensi akan timbulnya masalah (Sumarsono, 2002:78). Meskipun Indonesia hanya memiliki satu bahasa sebagai bahasa Nasional, namun bahasa daerah di Indonesia sangat beragam. Masing-masing bahasa daerah tersebut menjadi bahasa ibu bagi masing-masing penduduk di daerah tertentu. Dengan kata lain, masing-masing bahasa memiliki masing-masing pengguna bahasa yang berbeda satu sama lain. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Sumarsono (2002, 164) bahwa sebuah negara kadang-kadang hanya mengenal satu dua bahasa, tetapi banyak negara yang secara linguistik terpilah pilah, sehingga tidak mustahil setiap anak menjadi dwibahasawan (blingual) atau anekabahasawan (multilingual).
Penguasaan dua atau lebih bahasa dwibahasa atau multibahasa merupakan suatu keterampilan khusus. Dwibahasa atau multibahasa merupakan istilah-istilah nisbi selama para individu memang sangat beraneka ragam dan berbeda dalam hal tipe dan taraf kemahiran berbahasa (Encyclopedia Britannica, 1965 dalam Tarigan, 1984:4). Bilingualisme adalah pengawasan yang mirip asli terhadap dua bahasa. Tentu saja seseorang tidak akan dapat membatasi taraf kesempurnaan yang merupakan wadah seorang pembicara asing yang baik menjadi seorang dwibahasawan: pembedaan itu sangat relatif (Bloomfield, 1933 dalam Tarigan, 1984:4).
Kedwibahasaan atau bilingualisme secara praktis ada pada setiap negara di dunia, pada semua lapisan masyarakat dan pada semua kelompok usia (Grosjen, 1982 dan Mc Laughin, 1984:1 dalam Tarigan, 1984:13). Secara Sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain (McKey, 1962 dan Fishman, 1975 dalam Chaer, 2004:84) Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua  bahasa itu yakni bahasa ibunya atau bahasa daerah dan bahasa keduanya, dalam hal ini bahasa Indonesia. Sehingga, perlu proses pembelajaran untuk menguasai dengan baik penggunaan bahasa kedua dalam hal ini Bahasa Indonesia disamping bahasa daerah sebagai bahasa ibu mereka. Fenomena kedwibahasaan merupakan suatu yang sepenuhnya bersifat nisbi atau relatif. Oleh karena itu, kita akan mempertimbangkan atau menganggap kedwibahasawan sebagai penggunaan secara berselang-seling dua bahasa atau lebih oleh pribadi yang sama (Mackey, 1962).
 Masalah yang timbul adalah setiap anak-anak diwajibkan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di bidang pendidikan, sedangkan di lain pihak mereka kembali menggunakan bahasa daerah mereka ketika tidak berada di bangku sekolah. Inilah yang terjadi pada beberapa dekade yang lalu, dimana Bahasa Indonesia belum berkembang dengan baik sebagai bahasa Nasional. Sebaliknya, apa yang terjadi saat ini adalah Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar yang digunakan baik di bidang formal maupun informal, dalam artian, bahasa ini juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Saya beranggapan bahwa penting sekali menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dalam kehidupan sehari-hari. Namun, melestarikan penggunaan berbahasa daerah juga tidak boleh ditinggalkan bagi setiap individu dimana bahasa etnik itu digunakan. Ditambah dengan kebijakan baru pemerintah untuk mempelajari bahasa asing, sebagai contoh Bahasa Inggris, dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah. Hal ini tentu menjadi beban yang berat bagi setiap anak, dimana mereka harus menguasai paling tidak tiga bahasa diusia mereka yang sudah melewati critical period, masa dimana seseorang dapat belajar bahasa dengan baik. Sehingga perlu pembatasan dan penyelarasan agar setiap anak dapat berbahasa dengan baik sesuai dengan konteks bahasa apa yang harus digunakan. Kapan dan dimana seharusnya anak menggunakan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Berdasarkan pentingnya bagi nasionalisme, maka perkembangan rasa nasion tersa lebih sulit bagi negara anekabahasa dari pada negara ekabahasa (Sumarsono, 2002:174). Negara anekabahasa ini dapat mendekati masalah ini dengan dua cara: 1) mereka dapat berusaha mengembangkan bahasa nasional, atau 2) mereka dapat mencoba mengembangkan nasionalisme tidak berdasarkan bahasa. Sebagian besar negara mengambil cara pertama termasuk Indonesia. Untuk itulah, Pemerintah Indonesia mulai menggalakkan pentingnya berbahasa Indonesia bagi setiap warganya di seluruh penjuru negeri. Namun, masalah yang muncul adalah bagaimana warga yang bukan penutur asli bahasa X harus menyesuaikan dengan menggunakan bahasa tersebut dengan baik. Selain itu, bagaimana cara mereka menggunakan bahasa nasional yang baik namun tetap mempertahankan eksistensi bahasa ibu mereka. Hal ini bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini menyangkut pada pergeseran bahasa, pemertahanan bahasa, dan sikap berbahasa.
Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat dari suatu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain (Chaer, 2004:142). Kalau seorang atau sekelompok orang penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan mereka, maka akan terjadilah pergeseran bahasa ini (Chaer, 2004:142).
Pergeseran bahasa yang dimaksud disini adalah apabila ada sekelompok orang atau individu berpindah tempat dari tempat asalnya ke tempat yang lain,  dimana tempat yang baru ini memiliki bahasa yang berbedea dengan bahasa ibu mereka, maka lama kelamaan orang yang tinggal ditempat baru tersebut akan menggunakan bahasa dimana mereka tinggal. Jika keadaan ini terjadi di Indonesia, maka dapat dengan mudah digunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Namun, jika dalam keseharian anggota masyarakat di lingkungan yang baru ini banyak menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi, mau tidak mau pendatang baru ini akan menggunakan sedikit demi sedikit bahasa ditempat asal. Dan lama kelamaan apabila bahasa ibu mereka sudah tidak lagi digunakan, maka terjadilah pergeseran bahasa dari bahasa ibu mereka ke bahasa dimana mereka tinggal.
Hal inilah yang sedikit banyak mempengaruhi perubahan penggunaan  bahasa daerah akhir-akhir ini. Saya mengambil contoh fenomena perubahan bahasa ini di Kota Semarang. Karena banyaknya pendatang baru yang tinggal dan bersinggungan dengan penduduk asli, maka dipilihlah Bahasa Indonesia untuk menjembatani perbedaan bahasa daerah antara pendatang baru dengan penduduk asli. Jika kondisi seperti ini berjalan terus menerus dan berkesinambungan, maka lama kelamaan sebagian besar penduduk asli akan menggunakan Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan pendatang baru yang mulai banyak tinggal di Semarang. Penduduk asli pun akan lebih memilih mengajarkan dan menggunakan bahasa daerah kepada anak-anak mereka. Hal ini untuk memudahkan pengajaran dan penggunaan bahasa. Akibatnya, Bahasa daerah itu sendiri mulai jarang digunakan dan diajarkan kepada generasi selanjutnya.
Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran/ transmigran untuk mendatanginya (Chaer, 2004:144). Fishman (1972) telah menunjukkan terjadinya pergeseran bahasa para imigran di Amerika. Keturunan ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah tidak mengenal lagi bahasa ibunya (B-ib). 
Danie (1987) dan Ayotrahaedi (1990) melaporkan ada pergeseran bahasa yang menyebabkan kepunahan bahasa di tempat bahasa itu digunakan karena tidak ada lagi penuturnya atau penuturnya secara drastis sudah sangat berkurang. Hal inilah yang bisa terjadi pada bahasa daerah dimana penggunanya sudah mulai beralih menggunakan Bahasa Indonesia.
Proses pergeseran bahasa yang dijabarkan oleh Fishman diatas, secara tidak langsung turut mengakibatkan kepunahan bahasa disuatu tempat. Adanya pendatang baru yang lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia, menyebabkan penduduk asli juga menggunakan Bahasa Indonesia. Lama-kelamaan seiring bertambahnya pendatang dan faktor sosial bahasa Indonesia ini lebih diminati karena tidak mempersulit untuk diajarkan kepada anak. Dalam penelitiannya di wilayah Minahasa Timur, Sulawesi Utara Danie (1987) menemukan adanya bahasa daerah yang pemakainya dan penuturnya sudah sangat menurun. Penyebab penurunan pengguna bahasa ini antara lain adalah a) bahasa Melayu Manado merupakan bahasa yang berprestise tinggi di daerah itu, b) bahasa Melayu Manado sudah lama berfungsi sebagai lingua franca di daerah itu, c) kebutuhan akan bahasa pengantar, Bahasa Indonesia, bagi anak-anak untuk memasuki sekolah, dan d) berkembangnya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa nasional di daerah itu. Dalam kasus ini, bahasa Melayu Manado memiliki jenis dan bentuk bahasa yang tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia, sehingga semua keluarga mendidik anak-anaknya berbahasa Indonesia sejak kecil, walaupun yang diajarkan bahasa Melayu Manado.
Berbeda dengan penelitian Danie dimana bahasa Melayu Manado memiliki struktur yang tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia, bahasa Jawa juga dapat mengalami kepunahan karena berkurangnya pengguna bahasa Jawa. Penyebabnya sama seperti dengan penyebab kepunahan bahasa Melayu Manado pada poin (c) dan (d) di atas. Kebutuhan berbahasa Indonesia sebagai pengantar dalam bidang pendidikan, mengharuskan anak-anak untuk dapat menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Terlebih kemajuan teknologi informasi baik elektronik maupun media cetak yang semakin pesat saat ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya. Sehingga, kebutuhan untuk berbahasa Indonesia sangat penting dan mendesak. Penggunaan bahasa daerah, kemudian, dianggap kurang penting karena seluruh sumber informasi dan ilmu pengetahuan disajikan dengan pengantar Bahasa Indonesia. Meskipun, ada juga pengetahuan yang dapat diperoleh dengan pengantar bahasa daerah.
Peristiwa pergeseran bahasa ini dapat terjadi dimana-mana di muka bumi ini mengingat dalam dunia modern sekarang arus mobilitas penduduk sangat tinggi. Wilayah, daerah atau negara, yang memberi harapan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik diserbu dari mana-mana, sedangkan yang prosesnya suram segera ditinggalkan (Chaer, 2004:146). Sama halnya dengan daerah seperti apa yang memungkinkan terjadinya pergeseran bahasa, bahasa yang memberi prospek untuk kehidupan yang lebih baik akan terus digunakan dan dikembangkan namun, bahasa yang tidak memberi jaminan kehidupan yang lebih baik akan ditinggalkan dan tidak digunakan. Hal ini dapat dicontohkan dengan Bahasa Inggris dan bahasa daerah. Pembelajaran Bahasa Inggris lebih menguntungkan dari pada Bahasa daerah, karena dengan bahasa asing kesempatan untuk menguasai dunia global lebih baik dari hanya sekedar belajar bahasa daerah. Penggunaan bahasa ibu atau bahasa pertama oleh sejumlah penutur dari suatu masyarakat yang bilingual atau multilingual cenderung menurun akibat adanya bahasa kedua yang mempunyai fungsi yang lebih superior (Chaer, 2004:146).
Namun, kedwibahasaan masyarakat bukanlah satu-satunya penyebab pergeseran bahasa. Hampir semua kasus pergeseran bahasa terjadi melalui alih generasi dan menyangkut lebih dari satu generasi. Jarang terjadi sejumlah individu dalam suatu masyarakat menanggalkan dan mengganti bahasa dengan bahasa lain dalam kurun hidupnya (Sumarsono, 2002:235). Ini artinya, setiap individu tidak mungkin mengalami pergeseran bahasa dalam hidupnya. Pergeseran bahasa terjadi dalam konteks yang lebih luas yaitu pergeseran oleh alih generasi. Jadi pergeseran bahasa tidak dapat dinilai dari satu orang individu atau kelompok melainkan dari generasi ke generasi. Sehingga, dalam kurun waktu yang lama pegseran bahasa dapat dilihat, hingga akhirnya bisa saja terjadi kepunahan bahasa.    
Pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, pergeseran bahasa mengacu kepada bahasa yang tergeser oleh bahasa yang lain. Di lain sisi, pemertahanan bahasa merujuk pada suatu bahasa yang tidak tergeser oleh bahasa yang lain (Sumarsono, 2002:231).  Kedua kondisi itu merupakan akibat dari pilihan bahasa dalam jangka panjang (paling tidak tiga generasi) dan bersifat kolektif (dilakukan oleh sebagian warga) (Sumarsono, 2002:231). Dalam pemertahanan bahasa, sekelompok pengguna bahasa memilih untuk tetap melanjutkan menggunakan bahasa ibunya meskipun suadah ada bahasa kedua yang masuk kedalam komunitas tersebut.
Adakalanya, pengunaan bahasa ibu atau bahasa pertama yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua yang lebih dominan (Chaer, 2004:147). Sumarsono (1990) melaporkan tentang pemertahanan bahasa melayu Loloan di desa Loloan termasuk dalam wilayah kota Nagara Bali. Mereka berhasil mempertahankan penggunaan bahasa Melayu Loloan yang berasal dari nenek koyang mereka yang berasal dari Bugis dan Pontianak ditengah-tengah masyarakat Bali yang menggunakan Bahasa Bali sebagi bahasa ibu. Hal ini dapat bertahan karena beberapa faktor. Faktor tersebut ialah 1) wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis agak terpisah  dari wilayah pemukiman masyarakat Bali, 2) adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan, 3) anggota masyarakat Loloan mempunyai sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, dan Bahasa Bali, 4) adanya Loyalitas terhadap bahasa Melayu Loloan sebagai lambang identitas diri masyarkat Loloan, 5) adanya kesinambungan pengalihan bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya (dalam Chaer, 2004:147). Selain bahasa Bali, bahasa yang lebih tinggi dari bahasa Melayu Loloan adalah Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Masyarakat Loloan pun tidak berkeberatan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan keagamaan, karena tidak ada konotasi keagamaan dalam Bahasa Indonesia. Banyak ranah sosial yang tadinya menggunakan bahasa Melayu dan Bahasa Bali berubah menggunakan Bahasa Indonesia.
Warga Melayu Loloan akan menggunakan bahasa Indonesia jika tetangganya bukan merupakan kelompok guyup Melayu Loloan. Namun, pada generasi muda, interaksi antara sesama didominasi oleh bahasa Indonesia. Dalam dunia pendidikan, pemertahanan bahasa Melayu Loloan ini melemah. Terlebih apabila dominasi warga Loloan lebih sedikit dari pada siswa non-Loloan (Sumarsono, 2002:276-277). Dari hasil penelitian Sumarsono ini, di dapatkan hasil jika penggunaan Bahasa Melayu Loloan ini masih kuat jika antara pembicara dan pendengar didominasi oleh warga Loloan. Namun, penggunaan ini akan melemah jika terdapat beberapa lawan bicara yang bukan berasal dari warga Loloan.
Dari laporan ini dapat disimpulkan jika penguasaan terhadap bahasa kedua, dalam hal ini bahasa Bali, tidak serta merta menggeser bahasa pertama atau bahasa Melayu Loloan. Penguasaan bahasa kedua yang baru dalam hal ini Bahasa Indonesia tidak lalu menggeser bahasa pertama hanya mengurangi peran bahasa kedua yang lama yaitu Bali.
Dari laporan Sumarsono diatas dapat disimpulkan jika, kemungkinan punahnya Bahasa Melayu Loloan belum jelas dan belum dapat dilihat sekarang. Sebab pergeseran dan proses kepunahan bahasa itu memerlukan waktu yang tidak singkat dan melalui beberapa generasi (Chaer, 2004:148). Hal ini juga dipengaruhi oleh sikap dan keputusan berbahasa dari pengguna bahasa itu sendiri. Mereka menyepakati untuk terus menggunakan bahasa pertama mereka atau beralih ke bahasa kedua.  Hal ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mempertahankan bahasa daerah yang lain agar tidak tergerus dan tergeser dari perkembangan bahasa yang dinilai masyarkat lebih modern dan prestisius.
Pemertahanan bahasa daerah baik dari bahasa nasional maupun bahasa asing tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya peran dan kontribusi pengguna bahasa daerah itu sendiri. Keberlangsungan bahasa daerah ini memerlukan sikap positif yang melandasi pengguna bahasa akan norma-norma penggunaan bahasa. Garvin dan Mathiot (1968) mengemukakan sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini antara lain; 1) kesetiaan bahasa yakni sikap yang mendorong masyarakat suatu bahasa memepertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain, 2) kebanggaan bahasa yakni sikap yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakan sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, 3) kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa. Sebaliknya, apabila ketiga sikap ini mulai melemah dan tidak ada dalam seorang pengguna bahasa, maka pengguna bahasa ini dapat dikatakan seorang pengguna bahasa yang buruk. Sikap pengguna bahasa yang buruk ini dapat digambarkan dengan rasa ke-takbangga-an terhadap bahasa yang dipakainya. Rasa ketakbanggaan ini dipengaruhi oleh faktor gengsi, budaya, ras, etnis atau politik (Chaer, 2004:152). Sikap ini akan tampak dalam keseluruhan tindak tuturnya, seperti mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib dan tidak menggunakan kaidah yang berlaku.
Pada akhirnya sampailah kita pada simpulan bahwa keberlangsungan suatu bahasa akan nihil hasilnya jika tidak ada peran serta dan penggunaan bahasa yang baik oleh pengguna bahasa itu sendiri. Akan tetapi pengguna bahasa memiliki caranya masing-masing untuk memilih bahasa apa yang akan digunakan dan mana yang tidak. Sehingga, dari sejarahlah nanti kita akan melihat apakah suatu bahasa akan tetap bertahan atau tidak. Begitu juga yang terjadi dengan berbagai bahasa daerah sebagai bahasa etnik yang dimiliki oleh Indonesia. Di tangan kita lah bahasa ini akan terus hidup dan berkembang. Namun di tangan kita pula lah bahasa ini akan mati dan hanya akan ada dalam cerita dan sejarah. Untuk itulah sebagai generasi yag bijak akan lebih baik jika kita terus mewariskan warisan bahasa budaya ini hingga dapat dinikmati juga oleh anak cucu dan generasi mendatang. 

REFERENSI

Ayotrahaedi. 1990. Kubur pun Sudah Digali, Proses Kepunahan Sebuah Bahasa dalam Muhadjir dan Basuki Suhardi (Ed). 1990 dalam Chaer dan Agustina (Ed). 2004
Bloomfield,L. 1933. Language. New York:Holt, Rinehart and Winston dalam Tarigan, H.G (Ed) 1984.
Chaer, A and Agustina L. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Danie, Julianus Akun. 1987. Kajian Geografi Dialek Minahasa Timur Laut. Disertasi pada Universitas Indonesia Jakarta dalam Chaer dan Agustina (Ed). 2004.
Encyclopedia Britanica, 1965 dalam Tarigan (Ed), 1984.
Fishman. 1972. The Description of Societal Bilingualism dalam Anwar S Dill (Ed) 1972 dalam Chaer dan Agustina (Ed). 2004.
Garvin, P.L. dan Mathiot, M. 1968. The Urbanization of The Guarani Language: Problem in Language and Culture dalam Fishman (Ed.) 1968.
Grosjean, F. 1982. Life with two languages: An introduction to bilingualism. Cambridge, MA: Harvard University Press dalam Tarigan (Ed), 1984.
Mc Laughlin, B. 1984. Second Language Acquisition in Childhood: Volume I. Preschool Childreen (Second Edition). Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Disertasi FSUI. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 1990 dalam Sumarsono (Ed) 2002 dan Chaer dan Agustina (Ed) 2004.
___________. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tarigan, H.G. 1984. Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung: Penerbit Angkasa. 

2 comments:

  1. Informasi yang sangat membantu gan
    Terima kasih
    Lalu tindakan apa yg sebaiknya kita lakukan kpd kaum generasi muda agar tidak mengalami kesalahan berbahasa misalnya menggunakan bhs indo yg dicampur2 dgn bhs inggris

    ReplyDelete
  2. bagus dan bermanfaat untuk refrensi proposal skripsi...

    ReplyDelete